WELCOME TO MY BLOGLet's join myblog, contact me

Jumat, 09 September 2016

TINTA PEKAT DALAM SUFISTIK



TINTA PEKAT DALAM SUFISTIK 

(www.google.com)

Dunia sufi

 
1.      Ibn Arabi
Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Al-Arabi yang biasa dipanggil Ibn Arabi (w. 1240) adalah seorang sufi yang lahir di Andalusia, Spanyol. Ialah yang memiliki konsep Wahdatul Wujud atau dalam bahasa Jawa disebut Manunggaling Kawula Gusti.
Ibn Arabi adalah sufi yang aktif menulis. Banyak karya-karyanya yang diasumsi dan dikaji oleh khalayak dalam aspek sufistik.
Berangkat dari dunia tasawuf ortodoks (klasik), dialah sufi yang dikatakan aman dalam penyampaian dakwahnya. Karena ia menyampaikan dakwahnya melaui media tulisan.
Adapun sufi klasik sebelumnya, Al-Hallaj asal Persia  menerapkan ajaran tasawufnya secara terang-terangan, kemudian ia ditentang karena masyarakat pada saat itu tidak mampu menerima ajarannya, sehingga ia dikenal sesat, dan dihukum mati.
2.    
  Al- jili (Abdul Karim Al-Jili, w. 1428)
Menguak pemikiran-pemikiran Ibn Arabi, Al- Jili juga menuai karyanya “Insan Al- Kamil” dalam karyanya ia memaparkan bahwa Insan Kamil adalah Nabi Muhammad Saw, dan Nur Muhammadlah yang pertama kali diciptakan oleh Allah.
Nur Muhammad SAW adalah istilah yang pertama kali dipaparkan oleh Al- Hallaj yang kemudian diadopsi / dipinjam oleh Ibn Arabi.
3.     

1.      Ibn Fadhlullah


Syekh Muhammad bin Syekh Fadhlullah Al-Hindi Al-Burhanpuri (w. 1620) atau yang biasa dikenal Ibnu Fadhlullah berasal dari India. Karyanya yang berjudul “Tuhfah Al-Mursalah Ila An-Nabiyyi Shallallahu Alaihi Wassallam”, karyanya berisi martabat tujuh dengan menggunakan bahasa Arab.
Karya Fadhlullah pada tahun 1600-an mulai diterapkan oleh sufi Nusantara asal Pasai (Aceh), yakni Hamzah Fansuri. Tuhfah Al-Mursalah yang penjelasannya ringkas dinilai para sufi sebagai risalah, bukan kitab sufi. Pengaruh karyanya sampai ke Nusantara bagian barat.
Dunia Jawi pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636) mengalami keributan di kalangan para ulama yang disegani pada masa itu. Yakni perdebatan antara Syekh Nurudin Ar-Raniri (ulama pendatang dari India) dan Hamzah Fansuri (Penasehat Sultan). pada masa itu pedoman mereka adalah Tuhfah Al-Mursalah. Disitulah perdebatan keduanya dalam menafsirkan kitab itu dari sudut pandang yang berlawanan. Hamzah Fansuri (sufi heterodoks) sedangkan Ar-Raniri (sufi ortodoks).
Untungnya Al-Kunari (w. 1690) muncul. Ia adalah pengikut tarekat syatariyah dan naksabandiyah. Tak hanya mendalami pemahaman dan pengalaman tasawuf, ia juga memiliki wawasan yang luas pada aspek fiqh, sehingga bisa diterima kalangan sufi maupun syariati.
Ia memiliki karya yang berjudul Ithaf Adz-Dzakiy (Persembahan kepada Jiwa Yang Suci) ditulis pada tahun 1665. Isinya mengenai penjelasan tentang martabat tujuh (tuhfah al-mursalah). Penulisan ini dilatarbelakangi karena kesalahpahaman para ulama dalam menafsirkan martabat tujuh. Sehingga, ia membuat penjelasannya agar tidak terjadi perdebatan akibat kesalahpahaman.
Ithaf Adz-Dzakiy diterjemahkan dalam bahasa melayu jawi oleh Nurrudin Ar-Raniri, disusul oleh muridnya Abdul Rauf As-Sinkili (kaum ortodoks) berjudul Syarah Tuhfah. Penulisan buku itu ditulis pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Tsani, yakni menantu Iskandar Muda yang menggantikannya karena ia telah wafat. Dan akhirnya Hamzah Fansuri terasingkan. Nurudin Ar-Raniri yang menjadi penasehat sultan. Karena keduukannya, ia berwenang menjadi guru yang menyebarkan syariati. ia juga memiliki karya yang berjudul Risalah Hujjah Ash-Shiddiq Li Daf’i Az-Zindiq (Alasan Kaum Yang Benar Untuk Menolak Kaum Yang Zindiq). Kaum zindiq dalam karya tersebut ditujukan untuk wujudiyah mulhid, Hamzah Fansuri dan pengikutnya. Sedangkan yang benar itu bagi para pengikutnya. Ar-raniri juga memiliki murid yaitu Burhanudin Ulakan asal Padang dan Abdul Muhyi asal Cirebon.

Dari sejarah sufi Nusantara yang telah dijelaskan, meski para cendekia muslim berkiblat ke Tuhfah al-Mursalah, namun cara penafsiran mereka berbeda-beda. Ada yang menafsirkannya dari sudut pandang sufistik, dan ada pula dari sudut pandang syari’ati. Namun, dari perdebatan pendapat itu masing-masing memiliki karya, yang tentunya bukan hanya menjadi adu tanding dalam sejarah saja, namun juga dimanfaatkan bagi generasi selanjutnya. Terlepas dari segi politiknya, semuanya memiliki karya yang bisa kita kaji lewat sejarah.

Bukan hanya perdebatan, rasa kagum dan manut pada cendekia sebelumnya pun mereka lontarkan dengan tinta pekat mereka hingga menjadi tinta emas di masa kini. Mungkin saja dahulu hanya coretan-coretan belaka. Tapi coretan itu telah menghidupkan pemiliknya hingga menjadi ilmu.
Begitu pun kini. Mungkin kita memiliki coretan-coretan, tulisan yang kadang dinilai sampah bila dibaca sendiri. Tapi jangan khawatir, nyawa tulisan kita belum hidup. Siapa tahu 10 tahun atau 20 tahun yang akan datang, tulisan usang menjadi coretan yang berharga bagi orang lain. Sampai sejarawan berdalih, “menulislah! maka kau akan mengubah dunia”.
Menurut hemat saya dari wacana tersebut, bisa dipahami bahwa terlihat adanya egoisme dalam diri Nurudin Ar-Raniri yang berambisi memenangkan teorinya, ajarannya, ia menganggap bahwa dirinyalah yang paling benar hingga menyingkirkan Hamzah Fansuri, seorang ulama heterodoks. Hingga ia berhasil membawa ajaran syariati di nusantara. Maka, sudah barang tentu zaman sekarang syariat lebih diterima di kalangan masyarakat di banding dengan dunia tasawuf yang lebih mendalami makna dari syariat itu sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar