(www.google.com)
Dunia sufi
Dunia sufi
1.
Ibn Arabi
Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Al-Arabi yang biasa
dipanggil Ibn Arabi (w. 1240) adalah seorang sufi yang lahir di Andalusia, Spanyol.
Ialah yang memiliki konsep Wahdatul Wujud atau dalam bahasa Jawa disebut
Manunggaling Kawula Gusti.
Ibn Arabi adalah sufi yang aktif menulis. Banyak
karya-karyanya yang diasumsi dan dikaji oleh khalayak dalam aspek sufistik.
Berangkat dari dunia tasawuf ortodoks (klasik), dialah sufi
yang dikatakan aman dalam penyampaian dakwahnya. Karena ia menyampaikan
dakwahnya melaui media tulisan.
Adapun sufi klasik sebelumnya, Al-Hallaj asal Persia menerapkan ajaran tasawufnya secara
terang-terangan, kemudian ia ditentang karena masyarakat pada saat itu tidak
mampu menerima ajarannya, sehingga ia dikenal sesat, dan dihukum mati.
2.
Al- jili (Abdul Karim Al-Jili, w.
1428)
Menguak pemikiran-pemikiran Ibn Arabi, Al- Jili juga menuai
karyanya “Insan Al- Kamil” dalam karyanya ia memaparkan bahwa Insan
Kamil adalah Nabi Muhammad Saw, dan Nur Muhammadlah yang pertama kali
diciptakan oleh Allah.
Nur Muhammad SAW adalah istilah yang pertama kali dipaparkan
oleh Al- Hallaj yang kemudian diadopsi / dipinjam oleh Ibn Arabi.
3.
1.
Ibn Fadhlullah
Syekh Muhammad bin Syekh Fadhlullah Al-Hindi Al-Burhanpuri (w.
1620) atau yang biasa dikenal Ibnu Fadhlullah berasal dari India. Karyanya yang
berjudul “Tuhfah Al-Mursalah Ila An-Nabiyyi Shallallahu Alaihi Wassallam”, karyanya
berisi martabat tujuh dengan menggunakan bahasa Arab.
Karya Fadhlullah pada tahun 1600-an mulai diterapkan oleh
sufi Nusantara asal Pasai (Aceh), yakni Hamzah Fansuri. Tuhfah Al-Mursalah
yang penjelasannya ringkas dinilai para sufi sebagai risalah, bukan kitab sufi.
Pengaruh karyanya sampai ke Nusantara bagian barat.
Dunia Jawi pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636)
mengalami keributan di kalangan para ulama yang disegani pada masa itu. Yakni
perdebatan antara Syekh Nurudin Ar-Raniri (ulama pendatang dari India) dan Hamzah
Fansuri (Penasehat Sultan). pada masa itu pedoman mereka adalah Tuhfah
Al-Mursalah. Disitulah perdebatan keduanya dalam menafsirkan kitab itu dari
sudut pandang yang berlawanan. Hamzah Fansuri (sufi heterodoks) sedangkan Ar-Raniri
(sufi ortodoks).
Untungnya Al-Kunari (w. 1690) muncul. Ia adalah pengikut
tarekat syatariyah dan naksabandiyah. Tak hanya mendalami pemahaman dan
pengalaman tasawuf, ia juga memiliki wawasan yang luas pada aspek fiqh,
sehingga bisa diterima kalangan sufi maupun syariati.
Ia memiliki karya yang berjudul Ithaf Adz-Dzakiy (Persembahan
kepada Jiwa Yang Suci) ditulis pada tahun 1665. Isinya mengenai penjelasan
tentang martabat tujuh (tuhfah al-mursalah). Penulisan ini dilatarbelakangi
karena kesalahpahaman para ulama dalam menafsirkan martabat tujuh. Sehingga, ia
membuat penjelasannya agar tidak terjadi perdebatan akibat kesalahpahaman.
Ithaf Adz-Dzakiy diterjemahkan dalam bahasa melayu jawi oleh Nurrudin
Ar-Raniri, disusul oleh muridnya Abdul Rauf As-Sinkili (kaum ortodoks) berjudul
Syarah Tuhfah. Penulisan buku itu ditulis pada masa pemerintahan Sultan
Iskandar Tsani, yakni menantu Iskandar Muda yang menggantikannya karena ia
telah wafat. Dan akhirnya Hamzah Fansuri terasingkan. Nurudin Ar-Raniri yang
menjadi penasehat sultan. Karena keduukannya, ia berwenang menjadi guru yang
menyebarkan syariati. ia juga memiliki karya yang berjudul Risalah Hujjah
Ash-Shiddiq Li Daf’i Az-Zindiq (Alasan Kaum Yang Benar Untuk Menolak Kaum Yang
Zindiq). Kaum zindiq dalam karya tersebut ditujukan untuk wujudiyah
mulhid, Hamzah Fansuri dan pengikutnya. Sedangkan yang benar itu bagi para
pengikutnya. Ar-raniri juga memiliki murid yaitu Burhanudin Ulakan asal Padang
dan Abdul Muhyi asal Cirebon.
Dari sejarah sufi Nusantara yang telah dijelaskan, meski para
cendekia muslim berkiblat ke Tuhfah al-Mursalah, namun cara penafsiran
mereka berbeda-beda. Ada yang menafsirkannya dari sudut pandang sufistik, dan
ada pula dari sudut pandang syari’ati. Namun, dari perdebatan pendapat itu
masing-masing memiliki karya, yang tentunya bukan hanya menjadi adu tanding
dalam sejarah saja, namun juga dimanfaatkan bagi generasi selanjutnya. Terlepas
dari segi politiknya, semuanya memiliki karya yang bisa kita kaji lewat
sejarah.
Bukan hanya perdebatan, rasa kagum dan manut pada
cendekia sebelumnya pun mereka lontarkan dengan tinta pekat mereka hingga
menjadi tinta emas di masa kini. Mungkin saja dahulu hanya coretan-coretan
belaka. Tapi coretan itu telah menghidupkan pemiliknya hingga menjadi ilmu.
Begitu pun kini. Mungkin kita memiliki coretan-coretan,
tulisan yang kadang dinilai sampah bila dibaca sendiri. Tapi jangan khawatir,
nyawa tulisan kita belum hidup. Siapa tahu 10 tahun atau 20 tahun yang akan
datang, tulisan usang menjadi coretan yang berharga bagi orang lain. Sampai
sejarawan berdalih, “menulislah! maka kau akan mengubah dunia”.
Menurut hemat saya dari wacana tersebut, bisa dipahami bahwa terlihat
adanya egoisme dalam diri Nurudin Ar-Raniri yang berambisi memenangkan
teorinya, ajarannya, ia menganggap bahwa dirinyalah yang paling benar hingga
menyingkirkan Hamzah Fansuri, seorang ulama heterodoks. Hingga ia berhasil
membawa ajaran syariati di nusantara. Maka, sudah barang tentu zaman sekarang
syariat lebih diterima di kalangan masyarakat di banding dengan dunia tasawuf
yang lebih mendalami makna dari syariat itu sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar