`BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Dalam
dunia ini, kita sebagai kaum theisme (beragama) atau makhluk yang meyakini
adanya Tuhan, kita tahu bahwa kita berada di dunia ini karena penciptaan Tuhan
(Al-Kholiq). Kita bernaung dalam agama islam dan kita memiliki Tuhan yang kita
sebut Allah. Allah menciptakan kita, manusia pastinya mempunyai tujuan.
Tujuan kita diciptakan bukan hanya untuk menempati bumi dan
menikmati yang ada di dalamnya saja, tapi juga kareana kita memiliki peran
penting dalam wujud penciptaan-Nya, yaitu peran sebagai hamba/sang penyembah
(QS. Al-Dzariyat:56) dan sebagai khalifah (QS. Al-Baqarah: 30), seperti yang
tertera dalam kitab suci Al-Qur’an. Dari tujuan Allah tersebut, kita bisa
mengetahui bahwa manusia yang menjadi hamba dan khalifah byang baik akan
membentuk manusia yang sempurna (Insan kamil) yang menjadi cerminan atau
manifestasi Tuhan yang utuh.
Kemudian manusia dari penyebutan insan kamil yang mulanya berasal
dari khalifah dan hambah, tidak luput dari hubungannya terhadap sesama dan
Tuhan-Nya. Untuk itu makalah ini kami buat untuk menghantarkan pengetahuan
tentang hakikat Insan kamil versi budaya dan versi islam
karena berkaitan erat dengan Hablumminallah dan Hablumminannas.
karena berkaitan erat dengan Hablumminallah dan Hablumminannas.
B.
Rumusan masalah
1.
Apa
manusia seutuhnya (insan kamil) itu?
2.
Bagaimanakah
insan kamil dalam perspektif ilmu budaya dan islam?
C.
Tujuan
1.
Untuk
mengetahui definisi Insan kamil.
2.
Untuk
mengetahui insan kamil dalam perspektif ilmu budaya dan islam.
D.
Kegunaan makalah
1.
Untuk
memenuhi tugas Mata Kuliah Ilmu Budaya semester 3 Tahun ajaran 2015/2016.
2.
Untuk
mengetahui kemampuan pengetahuan mahasiswa/i dalam menulis karya ilmiah.
3.
Untuk
menambah pengetahuan dan sebagai bahan rujukan bagi masyarakat.
E.
Metode penulisan makalah
Penulisan makalah ini kami buat berdasarkan metode kualitatif.
F.
Definisi Istilah
1.
Insan:
Manusia
2.
Kamil:
Sempurna
3.
Budaya:
Kemampuan Akal Secara Maksimal
4.
Islam:
Agama Yang Selamat, Menyelamatkan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
DEFINISI MANUSIA SEUTUHNYA (INSAN KAMIL)
Manusia sempurna atau sering disebut dengan insan kamil berasal
dari dua kata, yaitu insan dan kamil. Keduanya berasal dari bahasa arab yang
berarti aitu: insan yang berarti manusia dan kamil yang berarti sempurna[1].
Manusia menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah makhluk yang
berakal budi[2]
Manusia dalam Al-Quran disebutkan dengan beberapa penyebutan,
seperti an-nas, al insan, dan albasyar. An-nas adalah bentuk tunggal dari
insan, sedangkan insan berasal dari tiga akar kata yaitu: anasa (melihat,
mengetahui dan meminta izin), nasia (lupa) dan al-uns (jinak). Sedangkan al-basyar
berati manusia yang digunakan dalam segi fisiknya.
Dalam pembahasan ini kita menggunakan kata insan untuk penyebutan
manusia. Menurut Jami Saliba dalam Almu’jam Alfalsafi bahwa kata insan
menunjukkan pada segi sifatnya bukan fisiknya.sedangkan dalam bahasa
Arab, kata insan cenderung pada sifat terpujiseperti kasih sayang, mulia dan
sebagainya. Filosof kalasik menggunakan kata insan yang berarti manusiasecara
totalitas yang secara langsung mengarah pada hakikat manusia[4]
Jadi, kata insan dalam menunjukkan sifat manusia memiliki
penafsiran dan makna. Namun dari semua definisi tersebut semuanya mennjukkan
definisi manusia dalam hal yang positif .dari segi sifatnya. Manusia seutuhnya
itu sama halnya dengan manusia yang sempurna. Kesempurnaan itu sendiri memiliki
tingkatan. Menurut Murtadha Muthahhari
dalam bukunya MANUSIA SEUTUHNYA menjelaskan bahwa kesempurnaan itu
mempunyai beberapa tingkatan yaitu Tamam dan Kamil.
Menurut Bahasa Arab kata Kamil dari asal kataيكمل كمل - yang artinya sempurna, utuh, lengkap, penuh,
tuntas, keseluruhan.
تمَّم – يتمِّم yang artinya menyempurnakan.
Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia)
Tamam kl a 1.sempurna; lengkap; 2 selesai; habis: apabila sudah --
salat, ia pun berdoa kepada Allah.
Jadi Tamam artinya sempurna apabila sesuatu yang dibutuhkan telah
ada atau lengkap. Contohnya apabila kita hendak membuat rumah dan sudah ada
pintu, jendela, genteng, halaman dan lain-lainnya telah tersedia berarti itu
sudah dinyatakan tamam.
Adapun kata kamal atau kamil digunakan untuk sesuatu yang utuh dan
sudah rampung dalam tingkat atau derajat yang lebih tinggi secara kualitas.
Tingkatan ini sudah melewati tingkatan tamam.
Perbedaan antara keduanya adalah: tamam ialah besifat secara
horizontal, sedangkan kamil yaitu bersifat vertikal. Maksud horizontal di sini
aialah hubungan antara manusia dengan manusia. Hubungan di sini bukan hanya
sekedar hubungan biasa akan tetapi hubungan di sini sampai manusia yang tamam
itu ikut merasakan penderitaan orang lain. Sebagai contoh yaitu, pada zaman Ali
bin Abi Thalib. Suatu hari Imam Ali melihat seorang wanita tua di salah satu
lorong kota Madinah sedang mengangkat kantung berisi air. Tanpa pikir panjang
Ali langsung menolongnya dan membawa air ke rumah wanita tua itu. Sesampainya
di rumah wanita itu, Ali bertanya padanya. Mengapa kamu mengangkat air sendiri?
Di mana suami anda?
Wanita itu menjawab “suamiku telah gugur ketika membela Amirul
Mukminin Ali dalam suatu peperangan, sekarang tinggal aku dan anak-anak yang
telah menjadi yatim”. Setelah mendengar jawaban wanita itu sekujur tubuh Ali
seakan terbakar. Merasa bersalah selama ini tidak peduli dengan wanita ini.
Diriwayatkan, malamnya ketika sampai di rumah, beliau tidak dapat memejamkan
mata semalam suntuk.
Pagi-paginya beliau langsung mengumpulkan gandum, daging, kurma,
dan uang. Lalu berjalan ke rumah janda itu. Tidak sampai di situ. Beliau
langsung membakar daging kemudian menyuapi anak-anak janda tersebut.
Inilah hubungan antara manusia dengan manusia yang benar-benar
merasakan penderitaan orang lain. Bahkan Ali tidak bisa tidur karena memikirkan
kesusahan janda tersebut.
Sedangakan hubungan yang bersifat vertikal yaitu hubungan antara
manusia dengan Tuhannya.
Jadi, manusia tamam adalah manusia yang sempurna secara horizontal
adalah manusia Tamam yang meningkatkan kualitas kesempurnaannya secara
vertikal.[5]
Horizontal disini dapat
diartikan dia berhubungan dengan sesama manusia dengan sempurna. Sedangkan
manusia Kamil. Vertikal disini dapat diartikan hubungan manusia dengan Tuhan
secara sempurna.
B.
MANUSIA SEUTUHNYA (INSAN KAMIL) MENURUT PERSPEKTIF ILMU BUDAYA
1.
Pengertian
Budaya
adalah bentuk jamak dari kata budi dan daya yang berarti cinta, karsa, dan
rasa.kata budaya sebenarnya berasal dari bahasa Sanskerta budhayah
yaitu bentuk jamak kata buddhi yang berarti budi atau akal. Dalam
bahasa Inggris, kata budaya berasal dari kata culture, dalam bahasa
latin, berasal dari kata colera. Colera berarti mengolah, mengerjakan,
menyuburkan, mengembangkan tanah (bertani). [6]
Dalam
buku Realitas Manusia: Pandangan Sosiologis Ibn Khuldun. Manusia adalah
makhluk berfikir. Sifat-sifat seperti ini tidal dimiliki oleh makhluk lain,
tetapi juga menaruh perhatian terhadap berbagai cara guna memperoleh makna
hidup. Proses-proses seperti ini melahirkan peradaban[7]
Jadi
dengan modal yang ia ( insan kamil) miliki yakni berupa daya pikir at
au
akal, dia akan mengoptimalkannya dengan baik dan menghasilkan perkembangan
dalam kehidupan manusia lainnya.
Jadi budaya adalah kemampuan akal yang
digunakan secara rmaksimal sehingga mewujudkan perkembangan. Insan kamil dalam
perspektif budaya pasti akan menggunakan akalnya secara maksimal dan
mengaplikasikan daya pemikirannya dengan menciptakan hal-hal yang bermanfaat
dan mengolah sesuatu menjadi berkembang. Contohnya seorang guru yang arif
mengembangkan kemampuan akalnya lewat ilmu yang dia punya. Mengamalkan ilmunya
kepada murid-muridnya sehingga menciptakan budaya belajar yang bermanfaat
mengembangkan potensi murid-muridnya.
2.
Wujud dari kebudayaan
J.J
Honigman dalam bukunya The Word of Man (1959) membagi budaya dalam tiga wujud,
yaitu: Ideas, Activities and Artifact. Sedangkan Koentjaraningrat mengemukakan
tiga wujud sejalan dengan para ahli tersebut:
a.
wujud
dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma dan peraturan.
b.
Wujud
kebudayaan sebagai suatu kompleks aktifitas serta tindakan berpola dari manusia
dalam masyarakat.
Penjelasan:
a.
Maksudnya
wujud kebudayaan ini merupakan indeks yang diciptakan manusia dengan
menggunakan akalnya. Wujud ini bersifat abstrak karena terletak pada pikiran
dan hanya bisa diimplementasikan dengan tata kelakuan. Hal ini menunjukkan
bahwa fungsi budaya ideal adalah mengendalikan, memberi aturan dan sebagainya.
Contoh: manusia
dalam kehidupan memiliki sifat sopan santun.
b.
Wujud
ini bisa dinamakan sistem sosial. Karena berhubungan dengan aktifitas manusia
dalam masyarakat. Dan dalam wujud ini, bersifat kongkrit karena berisi
aktifitas manusia dalam bermasyarakat.
Contoh: manusia
berinteraksi dengan orang lain, saling tolong menolong, dan lain sebagainya.
Wujud ini juga dikatakan kongkrit karena bisa dilihat dari perilaku dan
bagaimana manusia saling berkomunikasi lewat bahasa.
c.
Wujud
yang ini bisa dinamakan kebudayaan fisik, karena merupakan hasil dari aktifitas
fisik manusia. Wujud ini bersifat paling kongkret dan berupa benda-benda buatan
manusia. Baik berukuran besar maupun kecil.
Contoh: batik,
candi borobudur, ukiran kayu jati dan lain-lain.
Jadi manusia
yang sempurna dalam berbudaya pasti akan melakukan 3 perwujudan tersebut.,
yaitu insan kamil yang memiliki ide-ide yang bersifat islami dan mengandung
norma-norma.
Insan kamil bisa
berinteraksi dengan baik dan benar dalam bermasyarakat tanpa menyakiti orang
lain. Insan kamil bisa menghasilkan karya-karya yang dapat mengembangkan
potensi orang lain. Contohnya: buku, bangunan seperti masjid dan sebagainya.
Jadi manusia
sempurna yang berbudaya pasti akan melakukan tiga perwujudan tersebut, yaitu:
1.
Insan
kamil yang memiliki ide-ide yang bersifat islami dan mengandung norma-norma
agama
2.
Insan
kaml bisa berinteraksi dengan baik dan benar dalam bermasyarakat tanpa
menyakiti orang lain.
3.
Insan
kami bisa menghasilkan karya-karya yang dapat mengembangkan potensi orang lain.
Contohnya: buku, bangunan seperti masjid dan sebagainya.
C.
MANUSIA
SEUTUHNYA (INSAN KAMIL) MENURUT PERSPEKTIF ISLAM
Insan kamil, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya merupakan
sebuah tingkatan tertinggi manusia dimana dia telah mencapai tingkatan
maqomnya. Bisa juga dikatan saat dimana seseorang itu telah mecapai titik
tertinggi dalam diri. Insan kamil ialah sosok ideal yang sepatutnya dijadikan
sebgai seorang figur yang dapat dicontoh. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa
manusia itu ada yang sehat dan ada ynag sakit, ada yang yang sempurna dan
banyak sekali yang tidak sempurna.
Insan kamil dalam perspektik islam itu dikatakan sebagai seorang
teladan yang wajib dibicarakan. Mengapa
demikian? Hal ini disebabkan karena sosok insan kamil tersebut akan menjadi
olak ukurdan akan menjadi contoh bagi makhluk lai yangnkemudian dijadikan
sebagai standar model muslim. Keteranan lebih lanjut diungkapkan oleh Murtdha
Muthahhri bahwa jika kita hendak menjadi seorang muslim yang sempurna dan ingin
mencapai kesempurnaan manusiawi dalam dirinya dan pendidikan islam, maka
terlebih dahulu kita harus mengenal manusia sempurna itu bagaimana jiwa dan
mentalnya, apa ciri-cirinya[9]
Dalam perspektif Murthadha Muthahhari, manusia sempurna itu adalah
manusia teladan, unggul, luhur pada semua nilai-nilai insani dan selalu menang
di medan-medan tempur kemanusiaan. Disamping itu manusia tersebut seluruh nilai
insainya berkembang secara seimbang dan stabil serta tidak satu pun dari
nilai-nilai yang berkembang itu tidak selaras dengan nilai-nilai yang lain.
Dengan demikian Murthadha Muthahhari
menyatakn bahwa manusia yang kamil memiliki jiwa dan mental yang sehat. Yaitu
yang seluruh nilai insaninya berkembang secara seimbang dan stabil serta tidak
satu pun dari nilai-nilai yang berkembang itu tidak selaras dengan nilai-nilai
yang lain[10]
Adapun untuk mengetahui insan kamil, telah ditelusuri melalui
pendapat-pendapat ulama yang bahkan telah termasuk di dalamnya aliran-aliran.
Adapu ciri-ciri tersebut adalah berikut:
1.
Berfungsi
akalnya secara optimal
Tentu saja sebagai seorang insan kamil, seseorang itu harus
berfungsi akalnya secara optimal. Karena dengan befungsinya akal secara
optimal, dia dapat menentukan mana yang baik dan mana yang buruk, dengan
berfungsinya akal secara optimal, dia akan mengoptimalkan perbuatannya,
akhlaknya, dan sesuai dengan esensi yang disampaikan di dalam wahyu[11]
2.
Berfungsi
intuisinya
Intuisi dalam pandangan Ibnu Sina disebut jiwa manusia (rasonal
soul) menurutnya jika yang berpengaruh dalam diri manusia adalah jiwa
manusianya, maka orang itu hampir menyerupai malaikat dan mendekati
kesempurnaan[12]. Maka dalam hal ini berfungsinya intuisi dalam diri menjadi salah
satu ciri seorang insan kami.
3.
Mampu
menciptakan budaya
Manusia harus dapat mendaya gunakan seluruh potensi yang ada dalam
diri sebagai bentuk aplikasi dari potensi-potensi yang ia miliki tersebut.[13] Dengan pengalaman potensi tersebu, maka ia akan dapat membentuk
sebuah budaya dengan cara berpikir bagaimana untuk membuat sebuah kehidupan,
dan bagaimana untuk memperoleh sebuah makna kehidupan
4.
Menghiasi
diri dengan sifat-sifat ketuhanan
Jika seorang insan kamil telah dijadikan sebagai standar model atau
tolak ukur seorang muslim,maka ia harus dapat mencerminkan sebuah teladan yang
baik, dengan cara menghiasi diri dengan sifat-sifat ketuhanan. Manusia yang
ideal yang disebut insan kamil yaitu manusia dengan sifat-sifat ketuhanan yang
ada di dalam dirinya dapat mengendalikan sifat-sifat rendah yang lain[14]
5.
Berakhlak
mulia
Manusia yang ideal memiliki otak yang berilian dan mampu
menunjukkannya dalam sesuatu yang disebut sebagai akhlak mulia[15]
6.
Berjiwa
yang seimbang
Sikap seimbang diperlukan dalam hidup, yaitu sikap seimbang antara
kebutuhan, material dengan spiritual ruhaniah[16] berarti ditanamkan jiwa sufistik yang dibarengi dengan syariat
islam terutama ibadah, zikir, tafakkur dan seterusnya.
Penjelasan tentang ciri-ciri insan kamil tersebut sebenarnya belum
cukup untuk menggambarkan seorang insan kamil. Tetapi jika diterapkan secara
konsisten dalam kehidupan, maka dapat dipastikan akan mewujukan hakikat insan
kamil yang dimaksud.
Agama merupakan pegangan manusia dalam hidupnya bagi mereka yang
percaya terhadap keyakinan. Setiap agama mempunyai pandangannya sendiri tentang
manusia. Begitu pun dengan islam. Manusia, dalam pandangan islam selalu
dikaitkan dengan kisah tersendiri. Manusia tidak digambarkan seperti hewan. Di
dalam Al- Qur’an manusia dijelaskan sebagai makhluk Tuhan yang paling tinggi
derajatnya dibandingkan dengan makhluk lainya. Seperti yang dijelaskan beberapa
ayat di dalam Al-Qur’an.
Pada dasarnya manusia dalam perspektif al-qur’an itu ada proses
penciptaannya dalam keadaan sempurna. Seperti yang dijelaskan dalam QS.
Ath-Thin:4
لًقد
خلقنا الانسان في احسن تقوىم
Artinya; sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dengan
sebaik-baiknya.
Kata “ahsan” pada ayat tersebut adalah isim tafdhil yang artinya
paling sempurna. Paling sempurna disini maksudnya insan kami.
Dalam
perspektif islam insan kamil bisa dilihat dari 3 aspek:
1. Tingkatan
spiritual
Ketika
kita membicarakan insan kamil, maka kita juga berbicara tentang tingkatan
spiritual. Sehingga semua manusia dapat mencapai tingkatan spiritual. Barang
siapa yang sudah mempersiapkan dirinya dengan cara tazkiyatun nafs yakni
takhalli, tahalli, tajalli. Pada tahapan tertentu manusia akan naik level dari
level yang biasa ke level yang luar biasa.
Insan
kamil mempunyai tahapan-tahapan untuk menjadi manusia yang seutuhnya. Yaitu
dengan cara tazkiyatunnafs, syariat yang diperbaiki, tarekat, hakekat, ma’rifat
dan kasyaf (bisa menyingkap yang tidak bisa terlihat oleh yang lainnya).
Manusia
mempunyai tingkatan-tingkatan. Pada tingkatan Ahwal ke tingkatan mahqomat.
Tingkatan ahwal yakni dimana suatu keadaan keimanan tidak stabil atau pasang
surut. Sedangkan maqomat yakni maqom yang sudah mencapai titik puncak.
Disinilah manusia disebut insan kamil. Pada tingkat ini manusia sudah meyatu
dengan Tuhannya bagaikan air embun yang jatuh di lautan. Dia tidak hilang
tetapi melebur dengan air lautan. Apa pun yang dia lihat hanyalah Tuhan.
Meskipun seseorang sedang mencacinya dengan seribu kata cacian tetapi yang dia
lihat hanya Tuhan sehingga dia hanya bisa memuji Allah yang telah menciptakan
manusia seperti itu.
2. Sosok
Insan
kamil adalah sosok. Sosok disini adalah Nabi Muhammnad SAW. Ketika kita
membicarakan tentang sosok maka tak ada seorang pun yang dapat menandinginya.
Karena Tuhan hanya menciptakan satu sosok saja. Karena dia sosok maka mutlak
bahwa insan kamil itu hanyalah Nabi Muhammad.
Mengapa
Nabi Muhammad dikatkan insan kamil? Itu karena dalam diri Nabi Muhammad ada
citra Tuhan. Seperti ang dijelaskan oleh Ibn ‘Arabi yang berpendapat bahwa
hakikat Muhammad yang menjadi inti insan kamil sebagai penyabab pencitraan alam
karena pada dasarnya, penciptaan alam ini merupaka kehendak Tuhan agar Ia
(Tuhan) dapat dikenal dan dapat melihat citra dirinya.[17]
Maksudnya, agar manusia lainnya bisa melihat citra Tuhan dalam diri
Muhammad. Mereka pasti berfikir bahwa Nabi Muhammad saja yang sebagai makhluk
ciptaan Tuhan sudah sempurna apalagi penciptanya.
3.
Pandangan para tokoh
1.
Ibn ‘Arabi
Ibn Arabi
menganggap bahwa insan kamil adalah wakil yang benar atau sah di muka bumi dan
mu’allimul mulk (pengajar alam ghaib) di langit. Insan kamil adalah potret yang
paling sempurna yang diciptakan oleh allah yang derajatnya lebih baik dari dari
maqam ciptaan (makhluk). Karena kedudukannya, pencarian rahmat dan bantuan
al-haq (Allah swt) -yang merupakan penyebab kelestarian alam- sampai kepada
alam.[18]
Menurutnya,
wujud itu hanya memiliki satu realitas dan realitas tunggal yang benar-benar
itu adalah Allah, sedangkan semua alam semesta dan seluruh isinya ini tidak
mungkin dikenal, bahkan ia tidak dapat dikatakan tuhan tanpa ada yang bertuhan
kepadanya. Baginya tuhan itu hanya dapat dikenal melalui tajalli-Nya pada alam
semesta yang bersifat serba terbatas ini. Sedangkan sifatnya yang hakiki
tetaplah tidak dapat dikenal oleh siapapun. Hubungan di sini merupakan hubungan
antara yang ptensial dan actual, dimana peralihan antara yang pertama dan
berikutnya itu terjadi di luar patokan ruang dan waktu, karena tajalli tuhan
itu terjadi sebagai suatu proses abadi yang tiada henti-hentiya.
Ibn ‘Arabi
menjadikan realitas tunggal itu menjadi dua aspek: pertama, haqq yakni
dipandang sebagai esensi dari semua fenomena. Dan yang kedua, khalq yakni
dipandang sebagai manifestasi esensi itu sendiri. Kedua aspek ini hanya sekedar
tanggapan akal semata, sedangkan hakikat dari segalanya itu hanyalah satu.[19]
2.
Al-Jili
Al-Jili
mengidentifikasikan insan kamil ke dalam dua hal:
·
Pertama,
insan kamil dalam pengertian konsep pengetahuan mengenai manusia yang sempurna.
Dalam pengertian ini, insan kamil terkait dengan pandangan mengenai sesuatu
yang dianggap mutlak.
·
Kedua,
insan kamil terkait dengan jati diri yang mengidealkan kesatuan nama serta
sifat-sifat Tuhan ke dalam hakikat atau esensi dirinya. Dalam pengertian ini,
nama esensial dan sifat-sifat ilahi tersebut pada dasarnya juga menjadi milik
manusia sempurna oleh adanya hak fundamental, yaitu sebagai suatu keniscayaan
yang inheren dalam esensi dirinya. Hal itu dinyatakan dalam ungkapan yang
sering terdengar, yaitu tuhan berfungsi sebagai cermin bagi manusia dan manusia
menjadi cermin bagi tuhan untuk melihat diri-Nya.
DISKUSI
1.
Perbedaan pendapat Ibn ‘Arabi dan Al-Jilli?
Perbedaan
pendapat Ibn ‘Arabi dan Al-Jili adalah menurut pendapat Ibn Arabi manusia itu
adalah sebagai manifestasi tuhan. Jadi, manusia itu sebagai gambaran (cerminan)
tuhan-Nya. Sedangkan menurut Al-Jili, antara manusia dan tuhan itu terdapat
sebuah batasan yang jelas. Maksudnya, antara tuhan dan manusia itu tidak bisa
disatukan. Manusia dengan ranahnya sendiri sebagai seorang makhluk, tuhan dengan ranahnya sebagai Khaliq.
2.
Apakah insan kamil hanya ada di islam saja?
Insan
kamil hanya ada pada islam saja. Penyebutan dan konsep insan kamil hanya ada di agama islam saja.
Kaum
Yahudi mengagungkan David dan Solomon. Tapi, anehnya, mereka menggambarkan
sosok David dalam Bibel sebagai seorang pezina, yang berselingkuh dengan
Batsheba, istri panglima perangnya sendiri. [20]
Sekagum-kagumnya
kaum komunis terhadap Karl Marx, mereka tidak menjadikan Karl Marx sebagai
teladan dalam seluruh aspek kehidupan.[21]
Tidak
ada di agama lain. Esensi insan kamil perspektif islam itu dijelaskan lebih
mendalam berkaitan dengan penciptaannya dan konsep lainnya. Sedangkan dalam
agama selain islam atau nonmuslim memang terdapat esensi insan kamil namun
hanya sebagian dari esensi saja. Hanya
sebatas suri tauladan saja.
3.
Bagaimana cara insan kamil menyeimbangkan jiwanya?
Di
alam jiwa manusia terdapat 3 fakultas, yaitu :
a.
fakultas
nabati yang berpotensi dalam pertumbuhan fisik manusia.
b.
Fakultas
hewani yang berpotensi dalam pengembangan emosi.
c.
Fakultas
insani yang berpotensi dalam pengembangan akal.
Jika 3 fakultas
ini berfungsi secara maksimal, maka akan membantu keseimbangan jiwa Insan
kamil. dan peran yang paling utama dari 3 fakultas ini adalah fakultas insani.
Fakultas insani
akan lebih aktif jika Insan kamil melakukan tazkiyatun nafs yang di dalamnya
ada 3 hal, yaitu: takhalli, tahalli dan tajalli.
-
Takhalli:
pengosongan jiwa terhadap perbuatan-perbuatan yang buruk.
-
Tahalli:
pengisian jiwa dengan perbuatan dan sifat-sifat yang terpuji.
-
Tajalli:
tajalli merupakan kenampakan atau hasil dari 2 cara tazkiyatun nafs tadi. Memunculkan
sosok insan kamil.
BAB III
PENUTUP
· Kesimpulan
1.
Insan
kamil adalah manusia yang utuh secara vertikal maupun horizontal yaitu mempunyai
hubungan yang baik dalam hablumminallah dan hablumminannas.
2.
a. Insan
kamil dalam perspektif budaya pasti akan menggunakan akalnya secara maksimal
dan mengaplikasikan daya pemikirannya dengan menciptakan hal-hal yang
bermanfaat dan mengolah sesuatu menjadi berkembang.
b. Insan kamil dalam perspektif islam bisa dilihat dari tingkatan
spiritual yang paling tinggi (maqomat) dan sosoknya. Sosok Insan kamil menurut
islam adalah Nabi Muhammad SAW Insan kamil adalah seorang manusia yang
dengan sifat-sifat sempurna yang
dimilikinya menjadikan dia sebagai cerminan Tuhannya dan cerminan bagi manusia
lainnya.
· Saran
Atas beberapa penjelasan diatas, kami sebagai penulis menyadari
masih banyak kekurangan dalam makalah kami. Oleh karena itu, kami sebagai
penulis menyarankan agar pembaca merujuk kembali pada buku yang membahas tema Insan
kamil yang lebih mendalam, seperti buku:
Murtadho Muthahhari, Manusia
seutuhnya, Jakarta: Sadra press, 2012.
Ali Yunasril, Manusia
Cinta Ilahi, Jakarta: PARAMADINA, 1997.
Untuk
instansi STFI SADRA, kami menyarankan
untuk lebih mengapresiasi karya mahasiswa/inya dengan menjadikan makalah
sebagai rujukan praktis. Serta memperbanyak rujukan yang berhubungan dengan
tema yang kami angkat.
Semoga
karya sederhana yang kami buat dapat berpengaruh positif dalam perkembangan
pengetahuan masyarakat, kami (penulis), pemateri dan instansi.
DAFTAR
PUSTAKA
Fahrudi, Didik Erfan, Manusia
biasa yang ingin masuk surga
M.
Setiadi, Elly, M. Si,, Ilmu Budaya &
Dasar, Jakarta:KENCANA, et al. 2010.
Mawardi,
Udi Mufrodi, Gambaran Komprehensif Tentang Manusia, Banten, 2009.
Muthahhari,
Murtadho, MANUSIA DAN AGAMA, BANDUNG:
MIZAN, 1998.
Muthahhari, Murtadho, Manusia
seutuhnya, Jakarta: Sadra press, 2012.
Nata,
Abuddin, Akhlak Tasawuf, Jakarta: Rajawali pers, 2012
Yunasril, Ali, Manusia Cinta Ilahi, Jakarta:
PARAMADINA, 1997.
RIWAYAT
HIDUP PENULIS
Nama : Nurul Hakiki
NIM : NIM:
14.3.1.111.022
TTL : Bogor, 28 Agustus 1996
Jurusan : Ilmu
Al-Qur’an Dan Tafsir
Riwayat
pendidikan:
SD: SDN 2 Koya
Barat
SMP: MTS Integral Hidayatullah
SMA: MA Nurul Anwar
S1 : STFI SADRA
|
Nama : Siti Halimah
NIM : NIM:
14.3.1.111.030
TTL : Cirebon, 04 Desember 1996
Jurusan: Ilmu
Al-Qur’an Dan Tafsir
Riwayat
Pendidikan :
SD: SDN 1 Bode Lor
SMP: SMP N 1 WERU
SMA: MAN CIREBON 1
S1: STFI SADRA
|
Nama :
Siti Azmiatin Hasna
NIM :
14.3.2.111.029
TTL : Rensing Bat, 07 januari 1997
Jurusan: Filsafat
Islam
Riwayat pendidikan :
SD : SD N 03 Rensing
SMP : MTs NW 02 Rensing
SMA: MA Birrul
Waidain NW Rensing
S1 : STFI SADRA
|
[5] Murtadha muthahhari, 2012. MANUSIA SEUTUHNYA. Sadra press,
Jakarta.
[6] Dr. Elly M. Setiadi, M. Si., et al. 2010. Ilmu Budaya &
Dasar. Jakarta:KENCANA. Hal. 27
[11] Azyumardi Azra, 1987, Antara
Kebebasan dan Keterpaksaan Manusia: Pemikiran Islam tentang Perbuatan Manusia, dalam
Dawam Rahardjo (ed.), Insan Kamil Konsepsi Manusia Menurut Islam,
Jakarta:Grafiki pers, 1987, Cet.II Hal 42
[12] Iqbal Abdur Rauf Sainima,
1987, Sekitar Filsafat Jiwa Dan Manusia Dari Ibn Sina, dalam Dawam Rahardjo
(ed.), Ibid, hal 65
[14] Hadi Mulyo, Manusia dalam
Perspektif Humanisme Agama: Pandangan Ali Syariati, dalam Dawam Rahardjo (ed.),
hal 175-176
[16] Qomariddin Hidayat, Upaya Pembebasan Manusia: tinjauan sufistik terhadap
manusia moderen menurut Husain Nashr, dalam Dawam Rahardjo (ed.), ibid hal 192
[18] DR. Yunasril Ali, Manusia citra ilahi, pengembangan konsep insan kamil ibn ‘arabi oleh
al-jili. 1997 cet.1 jakarta: paramadina, halaman:
56-57
[19] Ibid, 50
[20]
Didik
Erfan Fahrudi, Manusia biasa yang ingin masuk surga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar