WELCOME TO MY BLOGLet's join myblog, contact me

Artikel



MENGIKAT WAKTU DENGAN TALI PERJUANGAN

DATA BUKU
Judul Buku: LONDON WILD ROSE: Dan Cinta Pun Menari
Penulis: Kusuma Andrianto
Penyunting: Pray
Cetakan: Cetakan 1, Mei 2005
Penerbit: Dastan Books, 2005
Tebal: 384 Halaman
ISBN: 979-98423-7-9


Novel berjudul LONDON WILD ROSE (Dan Cinta pun Menari) memiliki daya pikat fisik yang cukup mendukung agar pembaca mudah tertarik untuk membaca buku tersebut. Meski warna sampul buku tidak begitu menarik, namun saya tertarik dengan judul bukunya. Di bagian sampul belakang terdapat gambaran cerita buku atau sinopsis yang mengandung bahasa yang mampu menarik orang-orang untuk membacanya. Dilengkapi penjelasan singkat tentang isi buku yang menceritakan tentang pengorbaanan, cinta dan persahabatan yang melingkari kerasnya kehidupan 3 insan di kota London. Disertai biografi singkat penulis buku tersebut. Tidak ketinggalan 3 endorsement yang mendukung kelebihan buku itu, yakni dari Doni Afila (ketua perhimpunan pelajar indonesia di Leeds, UK), Yoga Afandi (Cambridgee Univesity, UK) dan Steve G. Farrell (Dosen Leeds Metropolitan University, UK).
Tokoh utama dalam novel tersebut adalah Donny, seorang mahasiswa fakultas kedokteran di London. Dia adalah mahasiswa perantauan dari indonesia yang miskin, memiliki banyak hutang pada deep collector sehingga dia harus memilih tinggal di daerah terpencil dari kota London tepatnya di wilayah East End, di sebuah gedung tua yang disebut The Spears, ketika malam tiba berubah menjadi klub, tempat mata pencaharian para stripper dan tempat hiburan bagi para lelaki hidung belang. Di
situ pula dia bekerja sebagai cleaning service setiap pagi dan malam. Watak Donny yang baik penuh rasa empati menjadikannya mudah  terkait dalam urusan rumah tangga orang lain.
Novel tersebut diawali dengan perkenalan Donny dengan Monique, salah satu striper  yang juga tinggal di The Spears dan konflik pertama dimulai ketika Sophie, adik Monique yang sedang berbadan dua sambil kesakitan datang dalam keadaan pendarahan. Monique tidak mau membawa adiknya ke rumah sakit karena sebagai Imigran dari Albina, kakak-adik itu tidak mendapat izin resmi tinggal di Inggris. Dalam keadaan gentar tersebut, Donny pusing bukan kepalang. Walau mahasiswa kedokteran, dia masih belajar dan belum berani menangani pasien dalam kondisi parah seperti itu. Akhirnya, dia pergi ke tempat Yekatrina, sahabat sekaligus mentornya yang tinggal di London City Council Funeral and Crematorium, sebuah tempat pusat pemesanan pemakaman. Yekatrina adalah dokter yang memiliki banyak pengalaman dalam kehidupannya namun belum mendapat kualifikasi karena keterbatasan uang yang dimilikinya. Atas pertolongan Yekatrina, Sophie akhirnya selamat dari masa kritisnya dan berhasil melahirkan anaknya.
Klimaks mulai timbul ketika Monique memutuskan untuk menjual salah satu ginjalnya dengan harga 30 poundsterling, demi mencapai tujuannya yaitu pergi dan terbebas dari kerasnya kehidupan yang dijalaninya.
Dan dia juga ingin melepaskan Sophie dari jeratan suaminya yang bengis, kejam dan ingin menjual anaknya. Monique ingin dioperasi oleh Yekaterina. Namun sayangnya Yekatrina mengatakan pada Donny bahwa ginjal Monique tidak sehat dan terlalu berbahaya untuk diangkat karena cara hidupnya yang tidak sehat, terlalu banyak mengonsumsi minuman keras dan rokok. Akhirnya, Donny diam-diam mengubah rencana Monique, dangan menggantikan ginjalnya yang diangkat. Yekatrina menyetujui niat baik Donny.
Tak sesuai rencana Donny maupun Monique, di hari operasi ginjal tersebut tak berjalan mulus. Lokasi pengoperasian yang dilakukan di kamar Donny, di The Spears terhalang dengan munculnya Giorgio (suami Sophie) yang ingin mengambil anaknya. Dia menghancurkan semua benda di sekelilingnya. Tas Monique yang berisi alat-alat operasi dan uang Depe 15 poundsterling berhamburan. Donny, Monique dan Sophie terhantam, tumbang hingga babak belur karena ulah Giorgio. Untungnya Yekatrina berhasil menyerang Giorgio dengan pisau operasi hingga melukai leher lelaki monster itu. Akhirnya dia tumbang tergeletak di lantai.
Meski sempat terhalang, operasi ginjal tetap berlangsung hari itu dengan mengorbankan ginjal Giorgio sebagai tumbalnya. Akhirnya, hasil ginjal itu dijual pada seorang Bangsawan Italia dengan kesepakatan harga 30 poundsterling dan dibagi 3, untuk Monique dan Sophie 15 Poundsterling, untuk Donny 7,5 Poundsterling, dan Yekatrina juga 7,5 Poundsterling. Mereka akhirnya merdeka. Dengan uang itu Donny bisa pulang ke Indonesia dan melunasi hutang serta mengambil ijazahnya, yekatrina menjadi dokter yang sudah terkualifikasi dan Monique, Sophie serta bayinya bisa meninggalkan kejamnya hidup mereka yang dulu.
Di selah-selah lika-liku perjuangan mereka, Donny dan Monique diselimuti perasaan yang sama, Monique berusaha mengungkapkan lebih dulu namun Donny tak berani mengungkapkan perasaannya karena dia tahu, mereka tak bisa bersatu karena perbedaan tujuan yang mereka raih. Hingga dia memilih untuk berkata “some words are better unspoken. Some feelings are better remain unsaid”.
Ada sebuah kalimat yang menggetarkan hati saya ketika Yekatrina, salah satu tokoh dalam buku itu mengatakan, “... Apa pun yang ada di kepalamu, jangan biarkan waktumu terbuang percuma. Kamu memiliki kemerdekaan dan perjuangkanlah itu setiap menit, setiap detik, bahkan dalam mimpimu sekalipun! ...”. Kesempatan kita dalam memperoleh ketenangan jangan dibiarkan terlena. Ketika waktu terbuang, maka dengan susah paya kita harus membayarnya dengan waktu yang lain yang lebih berat.
Penulis buku LONDON WILD ROSE adalah Kusuma Andrianto. Beliau lahir di Padang pada tanggal 8 Oktober. Menurut biografi singkat yang tertera dalam buku terbitan 2005 itu, beliau pernah menempuh studi S1-nya di Fakultas Ekonomi, Universitas Gajah Mada. Studi tingkat master dan doktoral-nya di Leeds University, Inggris. Pada tahun 2005, beliau menjadi pengajar tingkat pascasarjana di Leeds University dan Leeds Metropolitan University. Hebatnya meskipun latar belakang pendidikannya di bidang ekonomi, namun beliau bisa membuat novel yang menceritakan tentang kedokteran dengan melakukan wawancara pada beberapa tokoh di Inggris.
Novel fiksi ini sangat menarik, baik dari segi daya pikatnya maupun isinya. Penggunaan bahasa yang sederhana menjadikan novel ini lebih mudah dikunyah. Ceritanya memiliki alur maju-mundur, namun di situlah letak keunikan ceritanya. Di balik kelebihan buku ini tentu ada kekurangannya. Jika dilihat dari bagian awal dan akhir cerita dalam novel ini, Donny merindukan seorang gadis di kampungnya yang tidak disinggug identitasnya. Di bagian akhir cerita, gadis itu juga kembali diulas namun masih samar. Masih di bagian akhir cerita, perpisahan antara Donny dan sahabat-sahabatnya tidak diceritakan secara jelas, hanya mengulas kepulangan tokoh utama saja.
Dari daya pikat nonfisik yang saya temukan, bisa mewakili pesan yang terkandung dalam novel tersebut bahwa kita harus memperjuangkan hidup yang kita miliki dengan menggunakan waktu sebaik mungkin, karena itu adalah modal untuk memerdekakan diri dalam meraih tujuan.  Ikatlah waktu dengan tali perjuangan dan bawalah pada jalan tujuan yang kita pilih.
Sekian, dan terima kasih.


SITI HALIMAH: Si Lembut yang Bersemangat

Nama adalah sebuah hadiah pertama yang terindah dalam kehidupan manusia karena merupakan kado spesial bagi tiap orang yang berbeda-beda. Nama adalah sebuah doa, dibalik sebuah nama, orang tua kita berharap kelak kita menjadi seseorang yang nyata dari doa tersebut.

Pada zaman dulu banyak orang  tua di dusun kami yang masih kurang mengerti untuk memberi nama yang baik untuk anaknya. Mereka lebih memilih untuk meminta saran pada para kiyai di daerah kami yang lebih mengerti agar mendapatkan nama yang berarti baik. Karena nama itu adalah sebuah doa. Ketika saya dilahirkan dari Rahim ibu saya,tepatnya di Cirebon, 04 Desember 1996, ibu saya mulai memikirkan satu hal penting yaitu sebuah nama untuk saya. Beliau juga meminta saran nama yang baik untuk saya kepada seorang Kiyai terkemuka di dusun kami karena orang tua saya ingin ketika orang lain memanggil saya, orang lain memancatkan sebuah doa untuk saya.
            Dan suatu hari ibu saya datang ke rumah KH. Makubi yang terkemuka di dusun kami. Rumahnya tidak terlalu jauh, hanya beda satu gang dari rumah kami. Kiyai tersebut memberikan 3 pilihan nama, yaitu Imah, Yatimah, dan Siti halimah. Beliau juga menjelaskan arti dari 3 nama tersebut. Imah, hanya nama ringkas yang mudah diingat. Yatimah artinya anak permuan yang yatim. Kiyai tersebut memberikan pilihan nama itu karena beliau tahu bahwa saya lahir dalam keadaan yatim, karena bapak saya telah meninggal selum saya lahir. Dan ibu saya memilih nama yang ketiga yaitu Siti halimah. Siti halimah adalah nama dari Bahasa Arab yang artinya wanita yang lembut, wanita yang penyantun atau wanita yang sabar.  
            Kini saya tumbuh menjadi seorang remaja. Banyak orang yang mengatakan ketika saya berbicara itu lembut. Dan ada beberapa teman yang mengatakan bahwa diri saya ini lembut. Mungkin karena saya adalah orang yang bersifat perasa yang ketika dibentak dengan mudah meneteskan air mata. Mungkin itu karena terbawa nama.
            Ada juga beberapa kakak kelas yang menjuluki saya dengan sebutan “Si muka polos”. Sejujurnya saya tidak ingin dijuluki seperti itu. Tapi apa daya wajah saya memang seperti ini.  Padahal saya ingin mereka mengetahui bahwa dibalik “Muka polos” yang mereka katakan, terdapat ketegaran dan ketegasan sikap. Hanya saja mungkin sifat lembut dan muka polos itu terbawa dari nama saya.
            Saya ingin mengubah penilaian orang lain terhadap saya. Walaupun mereka menganggap saya bersifat lembut, tapi saya tidak ingin menjadi orang yang terlalu lembut. Saya ingin mereka mengetahui bahwa di balik nama saya yang berarti lembut ada semangat yang tidak pernah padam dalam hal apapun yang bersifat positif.
       

“Bagaimana Islam di Suatu Negara?”



Jumat, 26 februari 2016

            Diskusi pada malam sabtu ini adalah diskusi pertama yang diadakan oleh anggota KOPRI yang bernaung dibawah organisasi PMII. Pada kesempatan kali  ini kami selaku anggota KOPRI membahas tentang tanggapan Gus Dur tentang “Bagaimana Islam di Suatu Negara?” yang dibawakan oleh pembicara yaitu Wahyuningsih Della Sari semester 6, Prodi Filsafat Islam, STFI Sadra. Diskusi yang dibahas pada pukul 20.00-21-30 ini berjalan dengan lancar di Kediaman Mahasiswi STFI Sadra angkatan 2013 dan 2014.
       





Hasil diskusi yang saya ikuti dan yang mampu saya tangkap dalam diskusi tersebut adalah tanggapan Gus Dur mengenai islam yang berada di suatu negara dimaknai terlebih dahulu dari segi islam itu sendiri. Di zaman Gus Dur terdapat 2 pendapat tentang islam. Dalam QS: Al-baqarah: 208,
208. “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam (As-silmi) keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.”
Ada 2 interpretasi yang berbeda dalam menanggapi kata ‘As-silmi’. Yang pertama ada Kelompok Formalis yang berpendapat bahwa islam dalam ayat tersebut berarti islam secara keseluruhan yang segalanya kehidupan itu harus bernaung dalam islam secara keseluruhan. Dengan menggunakan dalil-dalil islam sebagai penegak hukum negara. Sedangkan yang ke-2 adalah pendapat Gus Dur yaitu islam adalah kedamaian. Untuk itu dalam suatu negara khususnya di Indonesia yang merupakan negara heterogen (beragam) dengan suku, adat, budaya yang bermacam-macam tidak akan dapat menerima islam yang diartikan oleh Kaum Formalis yang terkesan kaku. Tanggapan Kaum Formalis akan bisa diterima apabila disebar di Negara yang penduduknya mayoritas  menganut islam, seperti negara Arab.
        Untungnya islam bisa diterima di indonesia, karena metode penyampaiannya yang bersifat damai. Penyampaian agama islam dengan metode akulturasi  menjadikan islam lebih mudah masuk ke nusantara yang pada saat itu masih kental dengan beragam tradisi serta budaya para leluhur. Masuknya islam tidak langsung dengan penyampaian dakwah secara terang-terangan namun dengan pendekatan budaya  yakni menyampaikan nilai-nilai islam melalui budaya indonesia yang dibawa oleh para wali songo. Seperti pertunjukan wayang yang dibawakan oleh sunan bonang, memberikan nilai-nilai atau pemahaman islami dalam tradisi sesuguhan, hal tersebut diterima oleh masyarakat karena islam memang dikenal dengan penyampaian yang damai bukan frontal.


      Hal tersebut samahalnya dengan motto NU yang dijunjung oleh Gus Dur yakni tidak meninggalkan tradisi yang lama dan tidak menolak ajaran yang baru.

            Intinya bahwa dalam menyampaikan nilai-nilai islam tidaklah langsung dengan cara terang-terangan. Akan lebih baik dengan melakukan pendekatan pada masyarakat.  Kita harus mengetahui mainset mereka bagaimana, karena tak jarang epistimologi setiap orang itu berbeda-beda. Jadi, kita harus tahu epistimologi mereka, lalu sampaikan nilai-nilai keislaman dengan cara halus, damai dan dengan melalui pendekatan-pendekatan keseharian mereka. Seperti halnya penyampaian Nabi Ibrahim. As tentang Tuhan. Yaitu membuktikan bahwa hal-hal yang masyarakatnya pada saat itu benyak yang menyembah matahari, bulan, berhala itu bukanlah tuhan yang patut disembah. Namun Tuhan yang menciptakan semua yang ia pertanyakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar