WELCOME TO MY BLOGLet's join myblog, contact me

Senin, 28 Maret 2016

W. S. RENDRA: Sejarah Si Burung Merak

W. S. RENDRA: Sejarah  Si Burung Merak






Siapa yang tak kenal dengan tokoh bernama W.S Rendra?
W. S. Rendra memiliki nama lengkap Willibrordus Surendra Broto Rendra. Ia lahir di Solo pada tanggal 7 November 1935. Ia adalah anak dari pasangan yang menggeluti budaya, R. Cyprianus Sugeng Brotoatmojo dan Raden Ayu Chatarina Ismadillah. Ayahnya adalah seorang guru Bahasa Indonesia dan Jawa, disamping itu beliau juga seorang dramawan tradisional sedangkan ibunya adalah seorang penari serimpi di Kraton Surakarta.



Sastrawan yang sering dijuluki Si Burung Merak ini menekuni bidang sastra sejak ia SMP. Ia banyak menciptakan karya sastra seperti cerpen dan esai hingga dimuat di berbagai majalah. Pendidikannya bermula dari TK (1942) hingga tamat SMA pada tahun 1952 di sekolah katolik, St. Yosef, Solo. Kemudian ia melanjutkan kuliahnya di fakultas Sastra, UGM (Universitas Gajah Mada). Meskipun ia tidak sempat menyelesaikan kuliahnya, namun ia tetap belajar, hingga melanjutkan pendidikannya di dunia drama dan tari di Amerika. Ia mendapatkan beasiswa di American Academy of Dramatical Art (AADA).
Bakatnya mulai terlihat sejak SMP. Ia sering membuat puisi, cerpen dan teks drama. Ia juga piawai dalam memeragakan diri dalam drama. Karya pertamanya adalah puisi yang berhasil dimuat di majalah siasat pada tahun 1952. Setelah itu berbagai puisi yang ia ciptakan berhasil menghiasi berbagai majalah lainnya.
Pada saat SMA, drama yang berjudul “orang-orang di tikungan jalan” merupakan drama pertamanya yang mendapatkan penghargaan dari kantor wilayah depertemen pendidikan dan kebudayaan, Yogyakarta. Sejak itu ia menjadi semakin bersemangat dalam dunia sastra.
Karya-karya Rendra tidak hanya terkenal di Indonesia, tapi juga di luar negeri. Karyanya telah banyak dipublikasikan dan diterjemahkan dalam bahasa asing, seperti Bahasa Inggris, Jerman, Belanda, Jepang dan India. Ia juga sering mengikuti festival-festival di berbagai negara, seperti The Valmiki International Poetry Festival, New Delhi (1985), The First New York Festival Of Arts (1988), Berliner Horizonte Festival (1971 dan 1979).
Dalam karya seni, Rendra pun mendapatkan banyak penghargaan, antara lain Hadiah Sayembara Penulisan Drama dari Bagian Kesenian Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Yogyakarta (1954), Hadiah Sastra Nasional BMKN (1956), Anugerah Seni dari Pemerintah Republik Indonesia (1970), Hadiah Akademi Jakarta (1975).
Ketika ia berumur 24 tahun, ia menikah dengan Sunarti Suwardi pada 31 maret 1959. Rendra memiliki 5 anak yaitu Teddy Satya Nugraha, Andreas Wahyu Wahyana, Daniel Seta, Samuel Musa, dan Klara Sinta. Ia juga memiliki istri kedua yaitu Sito, salah satu muridnya di Bengkel Teater. Sito adalah keturunan dara biru keraton Yogyakarta yang beragama islam. Pernikahannya yang kedua ini mengguncang publik, karena publik mengira bahwa ia masuk islam karena ingin berpoligami.
Padahal ia tertarik pada islam sebelum menikah dengan Sito. Menurutnya islam bisa mnjawab pertanyaan pokok dalam benaknya.
Saya bisa langsung beribadah kepada Allah tanpa memerlukan pertolongan orang lain. Sehingga saya merasa hak individu saya dihargai”, ungkap Rendra. Ia mengutip dari ayat Al-Qur’an, “Allah lebih dekat daripada urat nadi”. Ia mengikrarkan syahadat di hari pernikahannya dengan Sito didampingi Taufiq Ismail dan Ajip Rosidi sebagai saksinya pada tanggal 12 Agustus 1970. Bersama Sitoresmi ia memiliki 4 anak yaitu Yonas Salya, Sarah Drupadi, Naomi Srikandi dan Rachel Saraswati.
Lalu apa arti dari julukannya “Si Burung Merak”?. Suatu hari ia menemani temannya dari Australia, di Kebun Binatang Gembira Loka, Yogyakarta. Rendra melihat seekor burung merak jantan dan burung 2 ekor merak betina sedang berjalan. Lalu ia berseru sambil tertawa, “itu Rendra! Itu Redra!”. Tak hanya berjalan dengan 2 permaisurinya, ia menikah lagi dengan Ken Zuraida dan memiliki 2 anak: Isasias Sadewa dan Maryam Supraba. Tak lama setelah itu ia bercerai dengan istri pertama dan keduanya.
 Beberapa Karya W.S. Rendra: Jangan Takut Ibu, Balada Orang-Orang Tercinta (Kumpulan sajak), Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta!, Nyanyian Angsa, Pesan Pencopet kepada Pacarnya, Rendra: Ballads and Blues Poem (terjemahan), Perjuangan Suku Naga, Blues untuk Bonnie, Pamphleten van een Dichter, State of Emergency, Sajak Seorang Tua tentang Bandung Lautan Api, Mencari Bapak, Rumpun Alang-alang, Surat Cinta, Sajak Rajawali, Sajak Seonggok Jagung.

                                    

 

 


 

Sajak Kenalan Lamamu

Pengarang: W.S Rendra
Kategori: W.S Rendra
Kini kita saling berpandangan saudara.
Ragu-ragu apa pula,
kita memang pernah berjumpa.
Sambil berdiri di ambang pintu kereta api,
tergencet oleh penumpang berjubel,
Dari Yogya ke Jakarta,
aku melihat kamu tidur di kolong bangku,
dengan alas kertas koran,
sambil memeluk satu anakmu,
sementara istrimu meneteki bayinya,
terbaring di sebelahmu.
Pernah pula kita satu truk,
duduk di atas kobis-kobis berbau sampah,
sambil meremasi tetek tengkulak sayur,
dan lalu sama-sama kaget,
ketika truk tiba-tiba terhenti
kerna distop oleh polisi,
yang menarik pungutan tidak resmi.
Ya, saudara, kita sudah sering berjumpa,
kerna sama-sama anak jalan raya.

Hidup macam apa ini !
Orang-orang dipindah kesana ke mari.
Bukan dari tujuan ke tujuan.
Tapi dari keadaan ke keadaan yang tanpa perubahan.

Kini kita bersandingan, saudara.
Kamu kenal bau bajuku.
Jangan kamu ragu-ragu,
kita memang pernah bertemu.
Waktu itu hujan rinai.
Aku menarik sehelai plastik dari tong sampah
tepat pada waktu kamu juga menariknya.
Kita saling berpandangan.
Kamu menggendong anak kecil di punggungmu.
Aku membuka mulut,
hendak berkata sesuatu……
Tak sempat !
Lebih dulu tinjumu melayang ke daguku…..
Dalam pandangan mata berkunang-kunang,
aku melihat kamu
membawa helaian plastik itu
ke satu gubuk karton.
Kamu lapiskan ke atap gubugmu,
dan lalu kamu masuk dengan anakmu…..
Sebungkus nasi yang dicuri,
itulah santapan.
Kolong kios buku di terminal
itulah peraduan.
Ya, saudara-saudara, kita sama-sama kenal ini,
karena kita anak jadah bangsa yang mulia.

Hidup macam apa hidup ini.
Di taman yang gelap orang menjual badan,
agar mulutnya tersumpal makan.
Di hotel yang mewah istri guru menjual badan
agar pantatnya diganjal sedan.

Duabelas pasang payudara gemerlapan,
bertatahkan intan permata di sekitar putingnya.
Dan di bawah semuanya,
celana dalam sutera warna kesumba.
Ya, saudara,
Kita sama-sama tertawa mengenang ini semua.
Ragu-ragu apa pula
kita memang pernah berjumpa.
Kita telah menyaksikan,
betapa para pembesar
menjilati selangkang wanita,
sambil kepalanya diguyur anggur.
Ya, kita sama-sama germo,
yang menjahitkan jas di Singapura
mencat rambut di pangkuan bintang film,
main golf, main mahyong,
dan makan kepiting saus tiram di restoran terhormat.

Hidup dalam khayalan,
hidup dalam kenyataan……
tak ada bedanya.
Kerna khayalan dinyatakan,
dan kenyataan dikhayalkan,
di dalam peradaban fatamorgana.

Ayo, jangan lagi sangsi,
kamu kenal suara batukku.
Kamu lihat lagi gayaku meludah di trotoar.
Ya, memang aku. Temanmu dulu.
Kita telah sama-sama mencuri mobil ayahmu
bergiliran meniduri gula-gulanya,
dan mengintip ibumu main serong
dengan ajudan ayahmu.
Kita telah sama-sama beli morphin dari guru kita.
Menenggak valium yang disediakan oleh dokter untuk ibumu,
dan akhirnya menggeletak di emper tiko,
di samping kere di Malioboro.
Kita alami semua ini,
kerna kita putra-putra dewa di dalam masyarakat kita.
Hidup melayang-layang.
Selangit,
melayang-layang.
Kekuasaan mendukung kita serupa ganja…..
meninggi…. Ke awan……
Peraturan dan hukuman,
kitalah yang empunya.
Kita tulis dengan keringat di ketiak,
di atas sol sepatu kita.
Kitalah gelandangan kaya,
yang perlu meyakinkan diri
dengan pembunuhan.

Saudara-saudara, kita sekarang berjabatan.
Kini kita bertemu lagi.
Ya, jangan kamu ragu-ragu,
kita memang pernah bertemu.
Bukankah tadi telah kamu kenal
betapa derap langkahku ?

Kita dulu pernah menyetop lalu lintas,
membakari mobil-mobil,
melambaikan poster-poster,
dan berderap maju, berdemonstrasi.
Kita telah sama-sama merancang strategi
di panti pijit dan restoran.
Dengan arloji emas,
secara teliti kita susun jadwal waktu.
Bergadang, berunding di larut kelam,
sambil mendekap hostess di kelab malam.
Kerna begitulah gaya pemuda harapan bangsa.

Politik adalah cara merampok dunia.
Politk adalah cara menggulingkan kekuasaan,
untuk menikmati giliran berkuasa.
Politik adalah tangga naiknya tingkat kehidupan.
dari becak ke taksi, dari taksi ke sedan pribadi
lalu ke mobil sport, lalu : helikopter !
Politik adalah festival dan pekan olah raga.
Politik adalah wadah kegiatan kesenian.
Dan bila ada orang banyak bacot,
kita cap ia sok pahlawan.

Dimanakah kunang-kunag di malam hari ?
Dimanakah trompah kayu di muka pintu ?
Di hari-hari yang berat,
aku cari kacamataku,
dan tidak ketemu.

Ya, inilah aku ini !
Jangan lagi sangsi !
Inilah bau ketiakku.
Inilah suara batukku.
Kamu telah menjamahku,
jangan lagi kamu ragau.

telah sama-sama berdiri di sini,
melihat bianglala berubah menjadi lidah-lidah api,
gunung yang kelabu membara,
kapal terbang pribadi di antara mega-mega meneteskan air mani
di putar blue-film di dalamnya.

Kekayaan melimpah.
Kemiskinan melimpah.
Darah melimpah.
Ludah menyembur dan melimpah.
Waktu melanda dan melimpah.
Lalu muncullah banjir suara.
Suara-suara di kolong meja.
Suara-suara di dalam lacu.
Suara-suara di dalam pici.
Dan akhirnya
dunia terbakar oleh tatawarna,
Warna-warna nilon dan plastik.
Warna-warna seribu warna.
Tidak luntur semuanya.
Ya, kita telah sama-sama menjadi saksi
dari suatu kejadian,
yang kita tidak tahu apa-apa,
namun lahir dari perbuatan kita.

Yogyakarta, 21 Juni 1977
Potret Pembangunan dalam Puisi
ainuttijar.blogspot.com › sastra


Tidak ada komentar:

Posting Komentar