Setiap
negara atau bangsa pasti mengharapkan seorang pemimpin ideal, yang tentunya
mampu mengayomi rakyatnya. Mempedulikan rakyatnya dan mampu mengatur sruktural
fungsional
dalam negara tersebut. Bicara soal pemimpin ideal pasti tak lepas
dari konteks realitas di negara kita. Realitas yang tak lepas dari masalah
negara tentunya mendambakan pemimpin yang kelak menjadi solusi dari
masalah-masalah negara.
Indonesia
yang katanya sudah merdeka, namun masih belum move-on dari korupsi,
kemiskinan, neokolonisme, dan masih banyak PR bagi seluruh penghuninya, baik
dari hirarki pejabat hingga rakyat. Tak ingin mengabsen semua masalah di bumi
pertiwi, marilah kita beralih ke pemimpin ideal.
Pemimpin adalah
subjek, dan objeknya adalah negara. Di dalam negara ada sistem yang di dalamnya
terdapat aturan-aturan yang berlaku. Masyarakat ikut andil di dalamnya. Teori
etzioni dalam penelitian sosial menuturkan bahwa ada dua jenis masyarakat,
yaitu masyarakat aktif dan pasif. Masyarakat aktif adalah masyarakat yang mampu
menggerakkan sistem (negara) itu untuk menjadi lebih baik dengan hal-hal yang
ia miliki, seperti kekuasaan, kesadaran dan pengetahuan. Dengan tiga hal tersebut,
masyarakat aktif itu bisa menjadi modal untuk menjadi pemimpin. Jadi,
singkatnya, pemimpin bisa saja terlahir dari masyarakat yang aktif.
Adapun
idealnya seorang pemimpin, bisa dilihat dari bagaimana ia mengaplikasikan tiga
hal tersebut. dengan kesadaran, pemimpin mampu melihat realitas negaranya.
Dengan pengetahuan, pemimpin mampu mengetahui masalah yang ada pada realitasnya
serta mengetahui solusinya. Dengan kekuasaannya, pemimpin mampu mengaktualkan
dan mengaplikasikan solusinya. Itulah pemimpin yang ideal.
Pemimpin itu bukan hanya yang mengatur suatu sistem, tapi juga berperan dalam sistem, sebagai penerang atau penggerak. Sedangkan masyarakat pasif adalah masyarakat yang juga berada dalam sistem, namun tugasnya hanya patuh, tunduk, menerima peraturan bagaikan air yang mengalir.
Berkaca di masa pemerintahan islam jaman dulu di kalangan para tabi’in, masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz. Ketika ia menjadi pemimpin pada masa itu, ia begitu sentimen terkait masalah negara. Diceritakan dalam suatu riwayat, pada suatu hari, ada sahabatnya yang mengunjunginya di kantor pemerintahannya. “apakah hal yang akan anda ceritakan terkait dengan masalah pemerintahan?, tanya Umar. “bukan, ini hanya terkait pada diri saya sendiri” jawab sahabatnya. Tak lama kemudian, belum saja sahabatnya memaparkan maksudnya, tiba-tiba lampu padam. Kemudian Umar bertanya, ”lalu apa yang ingin kau ceritakan?”. “Sebentar, kenapa lampunya padam?”, tanya sahabatnya. “ceritakan saja apa maksudmu, tidak mengapa bila lampunya padam, toh yang kita bicarakan bukan terkait masalah negara bukan?”, ungkap Umar Bin Abdul Aziz.
Dari kisah tersebut, kita bisa tangkap, betapa amanahnya Umar bin Abdul Aziz, padahal, lampu yang ia gunakan adalah damar kempluk atau lampu minyak. Namun karena minyak lampunya menggunakan uang negara, yakni dana yang terkumpul dari pembayaran pajak masyarakat, maka harus digunakan untuk kepentingan negara saja. Sedangkan di negara Cina, orang yang ketahuan korupsi saja langsung dihukum mati.
Bagaimana dengan realitas sekarang? Pejabat yang kini kita temui, tak pernah lepas dari kendaraan mewah, gaji yang menjulang tinggi bak gedung tinggi yang ditempati. Kasus korupsi masih ditutupi. Andai korupsi dihukum mati, bisa jadi solusi negeri untuk perbaiki kemiskinan.
Bukan untuk
mengabaikan indonesia, namun marilah melirik sedikit dari beragam sisi. Kita
sebagai negara yang masih dikatakan berkembang perlu untuk melihat kalangan
atas dan bawah. Melihat dari kalangan atas yang dimaksudkan adalah negara maju,
supaya kita bisa sadar, bahwa kita masih memiliki kewajiban untuk
memperjuangkan indonesia untuk menjadi lebih baik lagi. Juga melihat dari
kalangan bawah yang dimaksudkan adalah masalah negeri kita. Mengobati penyakit
negeri yang kini ditanggapi sebagai budaya negeri. Bukankah dari segi artinya
pun ‘budaya’ itu bersifat positif?.
Terkait pemimpin ideal, diharapkan bisa menjadi purnama di kegelapan negeri. Menjadi solusi pokok negeri, yakni korupsi, kemiskinan masyarakat, pemanfaatan SDA dan SDM dengan meningkatkan pendidikan. Jika korupsi diberantas sampai tuntas, akan ada celah bagi kemiskinan negeri untuk diperbaiki. Dan fasilitas pejabat negeri boleh saja diminimalkan, untuk modal mempebaiki penduduk negeri.
Semoga bumi pertiwi hidup berseri
Salam
Siti halimah,
STFI Sadra.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar