Review Jurnal Perspektif Al-Qur’an Seputar Kesetaraan Gender dalam
Konservasi Lingkungan
Tulisan
ini merupakan review salah satu artikel yang dimuat dalam jurnal mumtaz yang
berjudul “Perspektif Al-Qur’an Seputar Kesetaraan Gender dalam Konservasi
Lingkungan” karya Nur Arfiyah Febriani. Dalam artikel tersebut, Nur Arfiyah
memaparkan bahwa Al-Qur’an, menjelaskan kesetaraan gender dalam konservasi
(memelihara) lingkungan.
Pendahuluan
Secara
teknik penulisan, penulis jurnal menyusun tulisannya dari pendahuluan, isi
pembahasan dan kesimpulan. dalam pendahuluan, ia menyampaikan latar belakang yang
berisi permasalahan adanya dua pendapat yang saling bertentangan, yaitu
beberapa tokoh yang menyetujui adanya bias gender/penyimpangan gender. Mereka
berpendapat bahwa laki-laki berkarakter maskulin itu memiliki sifat-sifat yang
dominan, adapun perempuan yang memiliki karakter feminim cenderung menjadi
objek subordinasi, yang memiliki sifat-sifat negasi, seperti pasif, lemah dan
sebagainya hingga mengakibatkan pengakuan laki-laki dan kemudian menjadikan
suatu ideologi bahwa perempuan itu patut tersubordinasi, dinomor duakan
perannya, baik dalam ranah publik maupun domestik. Tokoh-tokoh ini adalah
Unger, Garai dan Schenfield, Eagly, Wright, Bernand, Miller dan Mcrath.
Di
sisi lain, ada pula seorang tokoh, Shinoda Bolen yang menekankan gerakan feminin, bahwa dalam
ranah lingkungan, justru perempuan lebih berperan positif dengan karakter yang
perempuan miliki, seperti menjaga, merawat, medidik, memelihara. Sedangkan
laki-laki hanya dapat merusak lingkungan, seperti arogan, peemarah,
pemberontak, eksploitatif.
Lalu,
Nur Arfiyah juga menyampaikan solusi dari permasalahan yang diangkat, yaitu
Al-Qur’an. Ia mempromosikan Al-Qur’an sebagai solusi untuk menjawab
permasalahan gender dalam ranah lingkungan. Dinyatakan bahwa Al-Qur’an
mengisyaratkan adanya keseimbangan karakter gender dalam tiap indiviu manusia.
Tiap individu memiliki karakter feminin dan maskulin yang positif, yang
berpengaruh baik dalam konservasi lingkungan.
akan
tetapi, dalam pendahuluannya, penulis jurnal ini tidak menegaskan fokus masalah
yang akan dibahas. Setelah pemaparan latar belakang, sang penulis langsung
mengahntarkan pembaca pada isi pembahasan. Menurut saya, fokus yang dibahas
dalam jurnal ini adalah:
1.
Keseimbangan
karakter feminin dan maskulin dalam setiap individu manusia
2.
Konservasi
lingkungan berwawassan gender dalam al-Qur’an.
B.
Kesetaraan Gender Dalam Konservasi Lingkungan
1.
Keseimbangan
karakter feminin dan maskulin dalam setiap individu manusia
Analisa
keseimbangan gender dalam al-Quran sangat penting untuk dibahas. Karena bisa
menjadi solusi terhadap permasalahan gender yang selalu diperdebatkan di
kalangan para ahli. Selalu ada
pembatasan klasifikasi karakter gender yang negatif pada feminin dan karakter
gender positif pada maskulin ataupun sebaliknya.
Seperti
yang diungkapkan Unger yang mengklasifikasikan karakter feeminin daan maskulin
karena perbedaan anatomi biologis dan komposisi kimia dalam tubuh yang dapat
mempengaruhi sistem permkembangan emosional dan kapasitas intelektual antara
laki-laki dan perempuan.
Klasifikasi
karakter feminin dan maskulin versi Unger
1.
Laki-laki
(Maskulin)
-
Sangat
agresif
-
Independen
-
Tidak
emosional
-
Dapat
menyembunyikan emosi
-
Lebih
obyektif
-
Tidak
mudah berpengaruh
-
Tidak
submisif
-
Sangat
menyukai pengetahuan eksakta
-
Tidak
mudah goyah terhadap krisis
-
Lebih
aktif
-
Dll
2.
Perempuan
(feminin)
-
Tidak
terlalu agresif
-
Tidak
terlalu independen
-
Lebih
emosional
-
Sulit
menyembunyikan emosi
-
Lebih
subyektif
-
Mudah
berpengaruh
-
Lebih
submisif
-
Kurang
menyukai pengetahuan eksakta
-
mudah
goyah terhadap krisis
-
lebih
pasif
-
dll
meskipun
perempuan dinilai negatif pada klasifikasi di atas, perempuan lebih berperan
baik dalam relasi sosial, karena memiliki karakter yang ramah. Sedangkan laki-laki
lebih mendominasi pada obyect oriented. Adapun Spence dan Helmrich
mengelompokkan feminin pada karakter emosional, sensitif, ekspresif dan
mendominasi dalam pemeliharaan/pengasuhan.
Jika
Unger mengklasifikasikan karakter feminin dalam karakter negatif, Shinoda Bolen
sebaliknya. Ia begitu mengagungkan kualitas feminin dan menilai kualitas
maskulin negatif. Dalam garis patriarki, karakter maskulin yang lebih dominatif
menjadikan laki-laki merasa lebih berwenang yang mengakibatkan laki-laki
arogan, sombong dna ambisius dalam hubungan sosialnya.
Karakter
Tuhan menurut perspektif agama
Penulis
jurnal ini juga menyampaikan adanya pandangan agamawan terkait karakter gender
yang dimiliki Tuhan. Di kalangan katolik, lebih mengagungkan Tuhan yang
feminin. Meereka menilai demikian karena melihat sosok Maryam sebagai Tuhan Ibu
yang memiliki sifat penyayang, pemaaf, penyembuh dan bijak. Sedangkan Protestan
lebih mengidentikkan Tuhan secara maskulin sebagai Tuhan Bapak yang memiliki
karakter maskulin, seperti visioner, aktif dan kompetitif.
Secara
umum, di balik identifikasi agamawan terhadap tuhannya, baik kristen maupun
protestan dapat mempengaruhi penilaiannya terkait gender. Namun tidak secara
spesifik dijelaskan bagaimana pandangan agamawan menilai gender dari
manusianya. Kemudian agama kristen, protestan, katolik dapat menilai Tuhannya
secara karakter gender karena tuhan yang mereka yakini adalah trinitas. Lalu
bagaimana dengan agama islam yang meyakini satu Tuhan?
Disinilah
penulis jurnal ini menjawab bahwa, islam yang memiliki keyakinan Tuhan yang
satu namun maha sempurna. Di balik nama-nama Allah yang berjumlah 99 yang
dsebut asma’ al-husna terdapat keseimbangan karakter femini dan maskulin.
Karena di antara sifaat-sifatnya terdapat sifat jamal (feminin) dan jalal
(maskulin).
Berbeda
dengan agama lain yang menyamakan karakter gender Tuhan dengan manusia, islam
tidak demikian. Penulis jurnal ini mnyatakan bahwa al-Qur’an mengisyaratkan
adanya keseimbangan gender dalam setiap individu manusia. Artinya, dalam diri
manusia memiliki karakter feminin dan maskulin baik dari nilai negatif maupun positifnya.
Menurut
Murata sendiri, dari kajian al-Qur’an terdapat bukti-bukti bahwa dalam diri
manusia memiliki karakter maskulin dan feminin. Karakter maskulin lebih
cenderung aktif sangkan feminin lebih pasif, menyerahkan.Murata menjelaskan
hirarki vertikal yang terdiri dari raga, jiwa dan ruh. Tingkatan yang lebih
tinggi adalaah ruh karena merupakan cahaya keilahian yang dekat dengan Allah.
Sedangkan raga adalah tingkatan yang lebih rendah. Jiwalah yang memiliki
karakter maskulin dan feminin. Misalnya, jika jiwa lebih menyerahkan diri pada
yang lebih rendah (materi/dunia) maka jiwa manusia berkarakter feminin negatif.
Sebaliknya, jika jiwa menyerahkan diri pada yang lebih tinggi, yaitu akal, ruh
dan Tuhan adalah jiwa yang bersifat feminin positif.
Contoh
lain, apabila jiwa yang memiliki sifat “berkuasa” dalam hal meninggikan diri,
menguasai diri itu merupakan jiwa maskulin negatif. Adapun jiwa yang bersifat
maskulin positif seperti menguasai diri untuk melawan nafs amarahnya. Jiwa yang
demikian dapat mencapai nafs mutmainnah.
Dari
contoh tersebut, dapat dipahami bahwa jiwa menurut Murata dapat dikategorikan
maskulin positif jika memiliki sifat kemuliaan (jalaliyah), yaitu karakter yang
aktif, seperti independen, obyektif, visioner dll. Sedangkan jiwa yang berkarakter
feminin positif adalah yang cenderung pada sifat keindahan (jamaliyah),
karakternya lebih pasif, seperti kreatifitas, memberi, memelihara, teratur,
memiliki perassaan kasih sayang dan sebagainya.
Nur
Arifiyah juga mengklasifikasikan keseimbangan karakter feminin dan maskulin
dalam setiap individu manusia dalam perspektif al-Qur’an:
- - Karakter
maskulin positif, misalnya: Konsisten (8/45), kompetitif (18/30), aktif
(4/95,47/31), independen (8/53), visioner (3/104)
-
Karakter
feminin positif, misalnya: taat/submisif (8/46), sabar (8/66), empati (33/29),
pemurah (57/18), tawakal (12/67, 14/12,39/38), pemaaf (3/159), ikhlas (12/24),
(15/40).
- - Karakter
maskulin negatif, misalnya: arogan (16/69), 39/60, dominatif (96/6-7),
matrealistis (duniawi) (100/8), ambisius (22/51)
- - Karakter
feminin negatif, misalnya:
a)
Subyektif:
tajassus (mencari kesalahan orang lain): 49/12
b)
Lemah:4/28
c)
Berkeluh
kesah: 70/19-20
d)
Lebih
mudah menangis: 19/23-24
e)
Kurang
independen : 103/3
Dari
berbagai isyarat dalam al-Qur’an yang diklasifikasikan tersebut dapat dipahami
bahwa al-Qur’an sama sekali tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan.
Semua manusia baik laki-laki dan perempuan memiliki karakter yang telah
disebutkan di atas. tergantung pada kemauan manusia itu sendiri apakah mau
meningkatkan kualitas dirinya atau tidak. Klasifikasi kesetaraan karakter
gender juga menjadi jawaban atas perdebatan para ahli yang sering terfokus pada
pemetakan intelektualitas hanya didominasi oleh laki-laki dan perempuan lebih mengedepankan
emosional.
2.
Konservasi lingkungan berwawasan gender dalam al-Qur’an.
Gerakan
Ekofeminis
Gerakan
ekofeminis dilatarbelakangi oleh perhatian para feminis terhadap isu kerusakan
alam yang memiliki hubungan erat dengan diskriminasi yang dialami perempuan.
Ekofeminis dibagi tiga, yaitu: ekofeminis radikal, liberal, dan sosial.
pendapat dari berbagai macam ekofeminis sama bahwa dominasi budaya patriarki
laki-laki atas perempuan sama halnya dengan budaya patriarki laki-laki pada
alam. Argumen ini disebabkan adanya ideologi bahwa perempuan dan alam ada di
badawah laki-laki. Ideologi hirarki ini kemudian dijadikan budaya. Yang menurut
gerakan ekofeminis harus direkonstraksi agar tiada lagi ideologi hirarki.
Al-Qur’an
memotifasi manusia, baik perempuan maupun laki-laki agar hidup harmonis,
sekaligus menjadi pribadi yang progresif dan aktif, di antaranya dalam QS.
Al-Zalzalah:7-8, al-Nisa:124, al-An’am:132Yunus:9.
Dalam
QS. An-Nahl:97
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ
مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ
بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun
perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya
kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka
dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”.
Dari ayat di atas, penulis jurnal menjelaskan tafsirannya melalui
pemikiran Nazarudin Umar bahwa perintah mengerjakan amal soleh dalam ranah
sosial, tidak dimaksudkan untuk salah satu jenis manusia saja. Tapi bagi
perempuan dan laki-laki untuk mengejar prestasi dan berlomba-lomba dalam
kebaikan.
Menurut saya, penjelasan poin kedua oleh penulis jurnal ini kurang
luas. Karena tidak membahas bagaimana manusia baik perempuan maupun laki-laki
memelihara lingkungan. Sedangkan lingkungan sendiri cakupannya luas.
Kesimpulan:
Dari
pemaparan di atas, penulis menyimpulkan bahwa tidak ada subordinasi gender
dalam al-Qur’an. Karena dalam setiap individu manusia memiliki karakter
maskulin dan feminin yang nilainya bergantung pada manusia itu sendiri.
Adapun
dalam ranah ekologi, al-Qur’an menganjurkan manusia baik laki-laki dan
perempuan untuk bekerjasama dalam memelihara alam dan menjaganya. Dan peran
manusia baik laki-laki maupun perempuan dalam menunjukkan prestasinya di
lingkungan masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar