WELCOME TO MY BLOGLet's join myblog, contact me

Senin, 28 Maret 2016

“Bagaimana Islam di Suatu Negara?”


Jumat, 26 februari 2016

Diskusi pada malam sabtu ini adalah diskusi pertama yang diadakan oleh anggota KOPRI yang bernaung dibawah organisasi PMII. Pada kesempatan kali  ini kami selaku anggota KOPRI membahas tentang tanggapan Gus Dur tentang “Bagaimana Islam di Suatu Negara?” yang dibawakan oleh pembicara yaitu Wahyuningsih Della Sari semester 6, Prodi Filsafat Islam, STFI Sadra. Diskusi yang dibahas pada pukul 20.00-21-30 ini berjalan dengan lancar di Kediaman Mahasiswi STFI Sadra angkatan 2013 dan 2014.
Hasil diskusi yang saya ikuti dan yang mampu saya tangkap dalam diskusi tersebut adalah tanggapan Gus Dur mengenai islam yang berada di suatu negara dimaknai terlebih dahulu dari segi islam itu sendiri. Di zaman Gus Dur terdapat 2 pendapat tentang islam. Dalam QS: Al-baqarah: 208,
208. “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam (As-silmi) keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.”
Ada 2 interpretasi yang berbeda dalam menanggapi kata ‘As-silmi’. Yang pertama ada Kelompok Formalis yang berpendapat bahwa islam dalam ayat tersebut berarti islam secara keseluruhan yang segalanya kehidupan itu harus bernaung dalam islam secara keseluruhan. Dengan menggunakan dalil-dalil islam sebagai penegak hukum negara. Sedangkan yang ke-2 adalah pendapat Gus Dur yaitu islam adalah kedamaian. Untuk itu dalam suatu negara khususnya di Indonesia yang merupakan negara heterogen (beragam) dengan suku, adat, budaya yang bermacam-macam tidak akan dapat menerima islam yang diartikan oleh Kaum Formalis yang terkesan kaku. Tanggapan Kaum Formalis akan bisa diterima apabila disebar di Negara yang penduduknya mayoritas  menganut islam, seperti negara Arab.
Untungnya islam bisa diterima di indonesia, karena metode penyampaiannya yang bersifat damai. Penyampaian agama islam dengan metode akulturasi  menjadikan islam lebih mudah masuk ke nusantara yang pada saat itu masih kental dengan beragam tradisi serta budaya para leluhur. Masuknya islam tidak langsung dengan penyampaian dakwah secara terang-terangan namun dengan pendekatan budaya  yakni menyampaikan nilai-nilai islam melalui budaya indonesia yang dibawa oleh para wali songo. Seperti pertunjukan wayang yang dibawakan oleh sunan bonang, memberikan nilai-nilai atau pemahaman islami dalam tradisi sesuguhan, hal tersebut diterima oleh masyarakat karena islam memang dikenal dengan penyampaian yang damai bukan frontal.
Hal tersebut samahalnya dengan motto NU yang dijunjung oleh Gus Dur yakni tidak meninggalkan tradisi yang lama dan tidak menolak ajaran yang baru.


Intinya bahwa dalam menyampaikan nilai-nilai islam tidaklah langsung dengan cara terang-terangan. Akan lebih baik dengan melakukan pendekatan pada masyarakat.  Kita harus mengetahui mainset mereka bagaimana, karena tak jarang epistimologi setiap orang itu berbeda-beda. Jadi, kita harus tahu epistimologi mereka, lalu sampaikan nilai-nilai keislaman dengan cara halus, damai dan dengan melalui pendekatan-pendekatan keseharian mereka. Seperti halnya penyampaian Nabi Ibrahim. As tentang Tuhan. Yaitu membuktikan bahwa hal-hal yang masyarakatnya pada saat itu benyak yang menyembah matahari, bulan, berhala itu bukanlah tuhan yang patut disembah. Namun Tuhan yang menciptakan semua yang ia pertanyakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar