Jumat, 26
februari 2016
Diskusi pada
malam sabtu ini adalah diskusi pertama yang diadakan oleh anggota KOPRI yang
bernaung dibawah organisasi PMII. Pada kesempatan kali ini kami selaku anggota KOPRI membahas
tentang tanggapan Gus Dur tentang “Bagaimana Islam di Suatu Negara?” yang
dibawakan oleh pembicara yaitu Wahyuningsih Della Sari semester 6, Prodi
Filsafat Islam, STFI Sadra. Diskusi yang dibahas pada pukul 20.00-21-30 ini
berjalan dengan lancar di Kediaman Mahasiswi STFI Sadra angkatan 2013 dan 2014.
Hasil
diskusi yang saya ikuti dan yang mampu saya tangkap dalam diskusi tersebut
adalah tanggapan Gus Dur mengenai islam yang berada di suatu negara dimaknai
terlebih dahulu dari segi islam itu sendiri. Di zaman Gus Dur terdapat 2
pendapat tentang islam. Dalam QS: Al-baqarah: 208,
208. “Hai
orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam (As-silmi) keseluruhan,
dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu
musuh yang nyata bagimu.”
Ada 2 interpretasi yang berbeda dalam
menanggapi kata ‘As-silmi’. Yang pertama ada Kelompok Formalis yang berpendapat
bahwa islam dalam ayat tersebut berarti islam secara keseluruhan yang segalanya
kehidupan itu harus bernaung dalam islam secara keseluruhan. Dengan menggunakan
dalil-dalil islam sebagai penegak hukum negara. Sedangkan yang ke-2 adalah
pendapat Gus Dur yaitu islam adalah kedamaian. Untuk itu dalam suatu negara
khususnya di Indonesia yang merupakan negara heterogen (beragam) dengan suku,
adat, budaya yang bermacam-macam tidak akan dapat menerima islam yang diartikan
oleh Kaum Formalis yang terkesan kaku. Tanggapan Kaum Formalis akan bisa
diterima apabila disebar di Negara yang penduduknya mayoritas menganut islam, seperti negara Arab.
Untungnya
islam bisa diterima di indonesia, karena metode penyampaiannya yang bersifat
damai. Penyampaian agama islam dengan metode akulturasi menjadikan islam lebih mudah masuk ke
nusantara yang pada saat itu masih kental dengan beragam tradisi serta budaya
para leluhur. Masuknya islam tidak langsung dengan penyampaian dakwah secara
terang-terangan namun dengan pendekatan budaya
yakni menyampaikan nilai-nilai islam melalui budaya indonesia yang
dibawa oleh para wali songo. Seperti pertunjukan wayang yang dibawakan oleh
sunan bonang, memberikan nilai-nilai atau pemahaman islami dalam tradisi
sesuguhan, hal tersebut diterima oleh masyarakat karena islam memang dikenal
dengan penyampaian yang damai bukan frontal.
Hal tersebut
samahalnya dengan motto NU yang dijunjung oleh Gus Dur yakni tidak meninggalkan
tradisi yang lama dan tidak menolak ajaran yang baru.
Intinya bahwa dalam menyampaikan nilai-nilai islam tidaklah langsung dengan cara terang-terangan. Akan lebih baik dengan melakukan pendekatan pada masyarakat. Kita harus mengetahui mainset mereka bagaimana, karena tak jarang epistimologi setiap orang itu berbeda-beda. Jadi, kita harus tahu epistimologi mereka, lalu sampaikan nilai-nilai keislaman dengan cara halus, damai dan dengan melalui pendekatan-pendekatan keseharian mereka. Seperti halnya penyampaian Nabi Ibrahim. As tentang Tuhan. Yaitu membuktikan bahwa hal-hal yang masyarakatnya pada saat itu benyak yang menyembah matahari, bulan, berhala itu bukanlah tuhan yang patut disembah. Namun Tuhan yang menciptakan semua yang ia pertanyakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar