Ru’yatullah
(Selasa, 25 April 2017 )
Imajinasi manusia kadang tak
terkendali, liar berkelana, hingga dapat mengurangi keyakinan dan keimanan,
bahwa Allah itu imateri (non materi), bukan materi, seperti dalam QS. Al-A’raf:
143
(Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan
Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung)
kepadanya, berkatalah Musa: "Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau)
kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau". Tuhan berfirman:
"Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu,
maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat
melihat-Ku". Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu,
dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah
Musa sadar kembali, dia berkata: "Maha Suci Engkau, aku bertobat kepada
Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman".) . ayat
itu kadang ditafsirkan bahwa Nabi Musa As meminta pada Allah untuk disingkap
dan diperlihatkan dengan wujud-Nya digambarkan dengan bentuk-bentuk yang serupa
dengan makhluk, sebagaimana makhluk memiliki panca indera. Maka, disinilah tafsir
falsafi menjelaskan hakikat dari ayat tersebut agar terbuka maknanya.
Pancaindera (pendengaran,
penglihatan, penciuman, pengecap dan peraba) merupakan dimensi
dzahiri/lahiriyah yang bergantung pada alam. Alam yang memiliki sistem teratur
dan tak dapat berubah, terbatas. Sedangkan ada yang disebut dengan indera
keenam, yang mampu menyingkap keadaan yang tak mampu disaksikan oleh manusia pada
umumnya. Indera keenam ini berada pada dimensi batini yang tak terbatas.
Misalnya saja peristiwa isra’ mi’raj yang dialami Nabi Muhammad SAW, yang
secara dzahiri dilihat dan disaksikan oleh kaum Quraish ketika beliau melakukan
perjalanan dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa. Hanya sebatas itu yang mereka
tahu. Namun di balik peristiwa agung tersebut, Nabi Muhammad melakukan
perjalanan yang jauh dari penglihatan mereka.
Allah SWT menurunkan ayat-ayat
yang kadang memaparkan tentang bentuk/fisik sama halnya seperti manusia, bukan
untuk mengenalkan wujud-Nya kepada manusia, namun untuk memberikan pemahaman
bagi manusia yang memiliki fisik, sebagai penerima wahyu agar isi al-Quran yang
disampaikan dapat dipahami bagi kaum awam. Adapun pendapat lain mengatakan
bahwa adanya ayat-ayat seperti “yaddullah, wajhah dan seterusnya”
adalah bahasa kiasan. Allah menggunakan kata-kata kiasan dalam Al-Qur’an
(majas), karena agar lebih sampai pada masyarakat di negeri Arab karena memang
sudah menjadi budaya mereka yang menggunakan syair-syair. Terbukti, bahwa
Bangsa Arab mengakui keagungan sastra dalam AL-Qur’an.
Adapun dalam QS.Al-A’raf:143, ..."Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar
aku dapat melihat kepada Engkau"( أَرِنِي أَنْظُرْ إِلَيْكَ),
Nabi Musa As ingin melihat Tuhan yang
dimaksud adalah berharap tersingkapnya keimanan atau ditinggikan derajat
keimanannya. Akan tetapi Allah menjawab, “لَنْ تَرَانِي” , menggunakan kata Lan yang berarti “tidak
pernah”. Mengapa? Karena Nabi Musa As masih menggunakan kata “aku” yang
mengandung keakuan/keegoan. Maka, Allah menyuruh Nabi Musa untuk menyaksikan
keadaan gunung/bukit tursinah semata-mata mengandung makna bahwa gunung yang
dimaksud adalah segunung keegoannya. Ketika Allah menyingkap penglihatan batiniyahnya,
fisik Musa As tak berdaya hingga ia pingsan. Kelemahan fisiknya menandakan
betapa kuatnya ruh dalam tubuhnya yang bertemu Tuhan-Nya hingga meninggalkan
raganya.
Begitu
dekatnya sosok yang menjauhkan diri kita kepada Allah. Yakni keegoisan diri
kita sendiri yang dapat merusak diri. Keegoisanlah yang menutupi penglihatan
kita yang hakiki.
Penglihatan
(Ru’yah) yang diharapkan Nabi Musa As bukanlah penglihatan mata lahiriyah/bashariyah.
Namun Ru’yah batiniyah/penglihatan secara batin. Makanya, Allah
menolak permintaan Nabi Musa As karena secara batiniyah, keegoisannya masih ada
yang mengurangi keimanan seorang nabi, sehingga harus disucikan. Sebagaimana
batiniyah yang memiliki tingkatan-tingkatan tazkiyatun-nafs sebagai cara
pensuciannya. Karena Allah tidak mungkin dilihat dengan penglihatan indrawi,
namun hanya dapat dilihat dengan penglihatan batiniyah (hakikat keimanan).
Seperti
perkataan Ali bin Abi Thalib Karamallahu wajhah yang menjawab pertanyaan
orang badui, “apakah kau dapat melihat Tuhanmu?”, lalu Ali menjawab, “untuk apa
aku menyembah Tuhan yang tidak dapat dilihat. Tuhan tidak dapat ddilihat engan
mata, tapi dengan hakikat keimanan (mata hati)”.
Sumber:
Kajian Kitab Tafsir Al-Mizan, Karya Allamah Thaba’ Thaba’i, bersama Ust. Hasyim Adnan, MA.