WELCOME TO MY BLOGLet's join myblog, contact me

Kamis, 27 April 2017

CONTOH REVIEW JURNAL

Review Jurnal Perspektif Al-Qur’an Seputar Kesetaraan Gender dalam Konservasi Lingkungan


Tulisan ini merupakan review salah satu artikel yang dimuat dalam jurnal mumtaz yang berjudul “Perspektif Al-Qur’an Seputar Kesetaraan Gender dalam Konservasi Lingkungan” karya Nur Arfiyah Febriani. Dalam artikel tersebut, Nur Arfiyah memaparkan bahwa Al-Qur’an, menjelaskan kesetaraan gender dalam konservasi (memelihara) lingkungan.

Pendahuluan

Secara teknik penulisan, penulis jurnal menyusun tulisannya dari pendahuluan, isi pembahasan dan kesimpulan. dalam pendahuluan, ia menyampaikan latar belakang yang berisi permasalahan adanya dua pendapat yang saling bertentangan, yaitu beberapa tokoh yang menyetujui adanya bias gender/penyimpangan gender. Mereka berpendapat bahwa laki-laki berkarakter maskulin itu memiliki sifat-sifat yang dominan, adapun perempuan yang memiliki karakter feminim cenderung menjadi objek subordinasi, yang memiliki sifat-sifat negasi, seperti pasif, lemah dan sebagainya hingga mengakibatkan pengakuan laki-laki dan kemudian menjadikan suatu ideologi bahwa perempuan itu patut tersubordinasi, dinomor duakan perannya, baik dalam ranah publik maupun domestik. Tokoh-tokoh ini adalah Unger, Garai dan Schenfield, Eagly, Wright, Bernand, Miller dan Mcrath.

KAJIAN TAFSIR FALSAFI


Ru’yatullah
(Selasa, 25 April 2017 )




Imajinasi manusia kadang tak terkendali, liar berkelana, hingga dapat mengurangi keyakinan dan keimanan, bahwa Allah itu imateri (non materi), bukan materi, seperti dalam QS. Al-A’raf: 143[1] (Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: "Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau". Tuhan berfirman: "Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku". Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata: "Maha Suci Engkau, aku bertobat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman".) . ayat itu kadang ditafsirkan bahwa Nabi Musa As meminta pada Allah untuk disingkap dan diperlihatkan dengan wujud-Nya digambarkan dengan bentuk-bentuk yang serupa dengan makhluk, sebagaimana makhluk memiliki panca indera. Maka, disinilah tafsir falsafi menjelaskan hakikat dari ayat tersebut agar terbuka maknanya.

Pancaindera (pendengaran, penglihatan, penciuman, pengecap dan peraba) merupakan dimensi dzahiri/lahiriyah yang bergantung pada alam. Alam yang memiliki sistem teratur dan tak dapat berubah, terbatas. Sedangkan ada yang disebut dengan indera keenam, yang mampu menyingkap keadaan yang tak mampu disaksikan oleh manusia pada umumnya. Indera keenam ini berada pada dimensi batini yang tak terbatas. Misalnya saja peristiwa isra’ mi’raj yang dialami Nabi Muhammad SAW, yang secara dzahiri dilihat dan disaksikan oleh kaum Quraish ketika beliau melakukan perjalanan dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa. Hanya sebatas itu yang mereka tahu. Namun di balik peristiwa agung tersebut, Nabi Muhammad melakukan perjalanan yang jauh dari penglihatan mereka.

Allah SWT menurunkan ayat-ayat yang kadang memaparkan tentang bentuk/fisik sama halnya seperti manusia, bukan untuk mengenalkan wujud-Nya kepada manusia, namun untuk memberikan pemahaman bagi manusia yang memiliki fisik, sebagai penerima wahyu agar isi al-Quran yang disampaikan dapat dipahami bagi kaum awam. Adapun pendapat lain mengatakan bahwa adanya ayat-ayat seperti “yaddullah, wajhah dan seterusnya” adalah bahasa kiasan. Allah menggunakan kata-kata kiasan dalam Al-Qur’an (majas), karena agar lebih sampai pada masyarakat di negeri Arab karena memang sudah menjadi budaya mereka yang menggunakan syair-syair. Terbukti, bahwa Bangsa Arab mengakui keagungan sastra dalam AL-Qur’an.

Adapun dalam QS.Al-A’raf:143, ..."Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau"( أَرِنِي أَنْظُرْ إِلَيْكَ), Nabi Musa As ingin melihat Tuhan yang dimaksud adalah berharap tersingkapnya keimanan atau ditinggikan derajat keimanannya. Akan tetapi Allah menjawab, لَنْ تَرَانِي” , menggunakan kata Lan yang berarti “tidak pernah”. Mengapa? Karena Nabi Musa As masih menggunakan kata “aku” yang mengandung keakuan/keegoan. Maka, Allah menyuruh Nabi Musa untuk menyaksikan keadaan gunung/bukit tursinah semata-mata mengandung makna bahwa gunung yang dimaksud adalah segunung keegoannya. Ketika Allah menyingkap penglihatan batiniyahnya, fisik Musa As tak berdaya hingga ia pingsan. Kelemahan fisiknya menandakan betapa kuatnya ruh dalam tubuhnya yang bertemu Tuhan-Nya hingga meninggalkan raganya.

Begitu dekatnya sosok yang menjauhkan diri kita kepada Allah. Yakni keegoisan diri kita sendiri yang dapat merusak diri. Keegoisanlah yang menutupi penglihatan kita yang hakiki.
Penglihatan (Ru’yah) yang diharapkan Nabi Musa As bukanlah penglihatan mata lahiriyah/bashariyah. Namun Ru’yah batiniyah/penglihatan secara batin. Makanya, Allah menolak permintaan Nabi Musa As karena secara batiniyah, keegoisannya masih ada yang mengurangi keimanan seorang nabi, sehingga harus disucikan. Sebagaimana batiniyah yang memiliki tingkatan-tingkatan tazkiyatun-nafs sebagai cara pensuciannya. Karena Allah tidak mungkin dilihat dengan penglihatan indrawi, namun hanya dapat dilihat dengan penglihatan batiniyah (hakikat keimanan).
Seperti perkataan Ali bin Abi Thalib Karamallahu wajhah yang menjawab pertanyaan orang badui, “apakah kau dapat melihat Tuhanmu?”, lalu Ali menjawab, “untuk apa aku menyembah Tuhan yang tidak dapat dilihat. Tuhan tidak dapat ddilihat engan mata, tapi dengan hakikat keimanan (mata hati)”.

Sumber: Kajian Kitab Tafsir Al-Mizan, Karya Allamah Thaba’ Thaba’i, bersama Ust. Hasyim Adnan, MA.




[1] وَلَمَّا جَاءَ مُوسَى لِمِيقَاتِنَا وَكَلَّمَهُ رَبُّهُ قَالَ رَبِّ أَرِنِي أَنْظُرْ إِلَيْكَ قَالَ لَنْ تَرَانِي وَلَكِنِ انْظُرْ إِلَى الْجَبَلِ فَإِنِ اسْتَقَرَّ مَكَانَهُ فَسَوْفَ تَرَانِي فَلَمَّا تَجَلَّى رَبُّهُ لِلْجَبَلِ جَعَلَهُ دَكًّا وَخَرَّ مُوسَى صَعِقًا فَلَمَّا أَفَاقَ قَالَ سُبْحَانَكَ تُبْتُ إِلَيْكَ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُؤْمِنِينَ